AS tidak mendapat dukungan setelah perintah mengenakan kembali sanksi terhadap Iran

(VOVWORLD) -  Selama hari-hari ini, opini umum internasional terus menaruh perhatian terhadap Amerika Serikat (AS), tidak hanya karena daya serap kuat dari perlombaan masuk Gedung Putih yang sedang mendekat babak yang sulit, tapi juga karena gerak-gerik yang sedang diarahkan oleh Pemerintah pimpinan Presiden Donald Trump terhadap kawasan Timur Tengah misalnya menegakkan permufakatan damai antara Israel dengan negara-negara Arab, memulihkan perintah-perintah sanksi terhadap Iran yang terkait dengan masalah nuklir. Di antaranya, upaya AS dalam memulihkan berbagai perintah sanksi terhadap Iran sedang menunjukkan langkah sumbangnya ketika menjumpai tentangan keras terus-menerus yang diberikan komunitas internasional.
AS tidak mendapat dukungan setelah perintah mengenakan kembali sanksi terhadap Iran - ảnh 1Komisioner Tinggi Uni Eropa urusan Politik Keamanan dan Diplomatik, Jossep Borreli  (Foto: AFP/VNA)

Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo, pada tanggal 19 September (waktu AS) mengumumkan langkah-langkah sanksi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menjadi efektif kembali dan AS akan “mengenakan akibat-akibatnya” kalau negara-negara anggota PBB tidak melaksanakan semua perintah sanksi ini. Dalam satu pernyataan resminya, Menlu AS menunjukkan “kalau negara-negara anggota PBB tidak menyelesaikan komitmennya dalam melaksanakan langkah-langkah sanksi ini, AS bersedia  menggunakan otoritas di dalam negeri untuk mengenakan akibat-akibat terhadap semua kegagalan itu dan menjamin bahwa Iran tidak bisa menikmati keuntungan dari aktivitas-aktivitas yang dilarang oleh PBB”. Akan tetapi, upaya sepihak dari Washington ini sedang menjumpai tentangan-tentangan keras dari banyak negara, termasuk juga para sekutu AS.

 

Banyak negara memprotes AS yang mengenakan kembali sanksi terhadap Iran

Beberapa jam setelah Menlu AS mengumumkan pengenaan kembali semua sanksi PBB terhadap Iran, pada tanggal 20 September, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Rusia telah mengeluarkan pernyataan kuat untuk memprotesnya. Pernyataan Kemlu Rusia menekankan “AS terus menimbulkan salah mengerti terhadap komunitas internaisonal ketika meramalkan penyelesaian beberapa prosedur di Dewan Keamanan PBB untuk memulihkan berlakunya semua resolusi sanksi dari Dewan Keamanan PBB terhadap Iran yang pernah dihapuskan pada 2015 setelah penandatanganan Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) untuk memecahkan masalah-masalah yang terkait program nuklir Iran”.

Pada hari itu juga, Komisioner Tinggi Uni Eropa urusan Politik Keamanan dan Diplomatik, Jossep Borreli telah membantah pernyataan sepihak dari AS tentang pemulihkan semua perintah sanksi PBB terhadap Iran. Pejabat Uni Eropa ini menekankan bahwa AS telah secara sepihak menarik diri dari permufakatan nuklir Iran pada 2018, oleh karena itu tidak bisa menggagas proses pemulihan berbagai perintah sanksi menurut Resolusi 2231 dari Dewan Keamanan PBB. Semua komitmen tentang penghapusan sanksi dalam JCPOA tetap diterapkan dan Uni Eropa akan terus menjamin mempertahankan dan melaksanakan dengan penuh JCPOA  dari Iran dan para pihak peserta lainnya. Komisioner Tinggi Uni Eropa tersebut menegaskan JCPOA merupakan pilar utama dari struktur non-proliferasi senjata nuklir global, mengimbau semua pihak supaya terus melaksanakan permufakatan ini dan mengekang tindakan-tindakan yang bisa dianggap membuat eskalasi situasi.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB, Antonio Guterres juga menyatakan belum mengeluarkan tindakan manapun tentang langkah-langkah sanksi terhadap Iran karena “tidak ada kepastian” yang bersangkutan dengan masalah ini.

 

Upaya-upaya keras yang sulit berhasil dan kaitan-kaitannya yang berbahaya

Menurut para analis, dengan reaksi-reaksi keras dari komunitas internasional, di antaranya termasuk para sekutu AS dan negara-negara anggota Uni Eropa, Pemerintah AS sedang menyulitkan diri sendiri dalam upaya mengenakan kembali semua perintah sanksi terhadap Iran. Karena, ketika mengawali kembali semua langkah sanksi PBB terhadap Iran berarti mematikan permufakatan nuklir Iran yang ditandatangani pada 2015, hasil dari semua upaya-upaya tekun komunitas internaisonal yang tekun selama bertahun-tahun. Tidak hanya Rusia dan Tiongkok, tapi hampir semua negara Eropa akan menentang langkah ini.

Akan tetapi,  dengan pernyataan AS yang akan mengenakan sanksi terhadap negara-negara yang tidak memulihkan langkah sanksi terhadap Iran, para sekutu AS sedang dipokokkan ke situasi yang sulit  yaitu menentang AS atau menentang permufakatan JCPOA. Dalam situasi ini, solusi yang paling optimal yang ditunjukkan oleh para analis ialah semua pihak internasional perlu tekun mempertahankan perundingan dengan Iran sampai adanya hasil pemilihan Presiden AS pada waktu mendatang dengan harapan supaya strategi Washington bagi masalah nuklir Iran akan berubah menurut kecenderungan yang menguntungkan JCPOA dengan skenario calon Partai Demokrat mencapai kemenangan. Akan tetapi, dalam skenario sebaliknya yakni, Presiden Donald Trump mencapai kemenangan, maka masalahnya mungkin menjadi lebih rumit ketika para sekutu AS di Eropa akan harus memilih pelaksanaan minat Washington atau menerima pengorbanan hubungan dengan AS untuk mempertahankan permufakatan nuklir dengan banyak upaya dan tenaga yang mereka berikan. Dengan skenario ini, akan tidak ada yang memastikan bahwa JCPOA akan dipertahankan dan pada saat itu, kaitan-kaitannya diprakirakan akan sangat serius dan sulit dibayangkan.  

Komentar

Yang lain