Menanggulangi perubahan iklim- tugas yang tidak mudah dilaksanakan

(VOVworld) – Konferensi ke-20 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Perubahan Iklim (COP-20) sedang berlangsung di Lima, Ibukota Peru. Wakil dari kira-kira 200 negara dan teritorial  telah menghadiri Konferensi ini untuk berbahas tentang cara memangkas gas limbah, menanggulangi perubahan iklim dengan target mencapai satu Perjanjian Internasional dalam waktu satu tahun mendatang dan mendorong rencana aksi di masing-masing negara. Namun, ini juga merupakan target yang tidak mudah dicapai pada latar belakang negara-negara masih mengalami banyak perbedaan pendapat. 

Menanggulangi perubahan iklim- tugas yang tidak mudah dilaksanakan - ảnh 1
Konferensi ke-20 Perserikatan Bangsa-Bangsa  tentang
 Perubahan Iklim (COP-20) di Peru.
(Foto:www.cop20.pe)

Berlangsung selama kira-kira dua pekan (1-12 Desember), Konferensi ke-20 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Perubahan Iklim (COP-20) adalah Konferensi terakhir sebelum saat negara-negara harus menandatangani satu perjanjian baru sebagai pengganti Protokol Kyoto.

Selama 12 hari berlangsung, wakil negara-negara dan teritorial peserta Konvensi Kerangka PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCC) berfokus membahas satu perjanjian global  baru yang disponsori oleh PBB, menetapkan target membatasi tarap kenaikan suhu Bola Bumi tidak melampui 2 derajat celsius terbanding dengan periode pra-industrasi. Para peserta akan mengajukan komitmen-komitmen untuk melindung lingkungan hidup terhadap pemusnahan serius, akibat pengaruh manusia.

Banyak rintangan

Menjelang Konferensi di atas, Menteri Lingkungan Hidup Peru, Manuel Pulgar –Vida menyatakan bahwa sulit  bisa menunggu-nunggu satu terobosan kuat di Konferensi COP-20, akan tetapi semua negara masih tetap selangkah demi selangkah mencapai kemajuan untuk menuju ke satu permufakatan baru pada tahun depan.

Peringatan itu diajukan berdasarkan pada kenyataan bahwa semua negara industri  telah tidak melaksanakan target memangkas 7-8% volume gas limbah rumah kaca pada tahun 2012 terbanding dengan tahun 1990, seperti yang diajukan oleh Protokol Kyoto. Penyebab utama-nya yalah semua negara dan kelompok negara mengalami perbedaan pendapat tentang kepentingan dan tanggung jawab. Pada saat negara-negara sedang berkembang menginginkan agar negara-negara maju harus memikul tanggung jawab lebih besar ketika memecahkan pemangkasan gas limbah, maka negara-negara Barat menyatakan bahwa semua perekonomian yang baru muncul juga harus memikul tanggung jawab, karena pada kenyataan-nya beberapa negara, seperti Tiongkok, India, gas limbah CO2 paling banyak di dunia (Tiongkok menduduki posisi pertama, sedangkan India menduduki posisi ke-4, setelah Amerika Serikat dan Uni Eropa).

Selain itu, negara-negara juga sedang mengalami perbedaan pendapat  tentang dana keuangan untuk membantu negara-negara miskin dalam menghadapi pemanasan  di seluruh dunia. Negara-negara sedang berkembang menginginkan agar negara-negara kaya melaksanakan janji untuk meningkatkan dana melindungi iklim dari USD 10 miliar pada tahapan 2010-2012 menjadi USD 100 miliar pada tahun 2020. Akan tetapi, karena harus bergulat dengan krisis ekonomi global, maka negara-negara maju menyatakan kekhawatiran tentang pemberian bantuan keuangan jangka panjang atau jangka pendek  kepada dana perlindungan iklim.

Pada saat para pemimpin negara-negara tersebut belum melaksanakan secara penuh semua komitmen, maka kalangan ilmuwan terus-menerus memperingatkan bahwa kalau proses pemangkasan gas limbah lambat dilakukan, maka dalam waktu 15 tahun mendatang, umat manusia akan  harus menghadapi musibah yang tidak bisa diguga akibat perubahan iklim, misalnya kenaikan air laut, es yang mencair, kekeringan, kebanjiran dan cuaca yang semakin sengit.

Penelitian terbaru  yang diumumkan Badan Atmosfer dan Samudera Nasional Amerika Serikat  memperlihatkan bahwa  tahun 2014 merupakan tahun  yang mencapai suhu rekor dalam waktu 130 tahun ini. Suhu Bola  Bumi meningkat kira-kira 0,68 derajat celsius selama 10 bulan ini, berlipat ganda terbanding dengan suhu rata-rata pada abad yang lalu. Es di 33 sungai diantara 38 sungai  sudah lenyap. Volume gas limbah rumah kaca  mencapai 40 miliar ton, terbanding dengan 32 miliar ton pada tahun 2010. Menurut “ Proyek Karbon global” yang diumumkan menjelang Konferensi COP-20, hanya dalam waktu 20 tahun lagi, volume gas limbah ini akan melampui batas aman sehingga dunia bisa mencapai target mengekang suhu global yang naik dibawah 2 derajat celsius terbanding dengan  priode pra-industri.

Harapan-harapan yang tipis

Diprakirakan negara-negara peserta akan menjumpai banyak kesulitan untuk mencapai satu permufakatan bersama, akan tetapi menjelang Konferensi COP-20, tampak ada beberapa indikasi  positif. Di bidang keuangan, Dana Iklim Hijau memberitahukan telah mendapat komitmen bantuan sebanyak USD 9,6 miliar dari 22 negara anggota untuk membantu negara-negara sedang berkembang memangkas gas limbah dan beradaptasi dengan perubahan iklim. Diantaranya, Amerika Serikat adalah negara pemberi donor paling besar dengan bantuan sebanyak USD 3 miliar, yang menduduki posisi kedua yalah Jepang USD 1,5 miliar.

Sebelumnya, pada pertengahan bulan November lalu, di Beijing, Ibukota Tiongkok, Presiden Amerika Serikat, Barack Obama dan Presiden Tiongkok, Xi Jinping mengumumkan bahwa dua negara telah mencapai permufakatan tentang pemangkasan gas limbah rumah kaca pada tahun 2030. Kongkrit-nya yalah pada tahun 2025, Amerika Serikat akan mengurangi 28 persen volume gas limbah terbanding dengan tahun 2005. Ini merupakan tarap drastis terbanding dengan target yang ditetapkan Pemerintah Amerika Serikat untuk awal masa bakti pimpinan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama. Tiongkok tidak mengajukan komitmen kongkrit, akan tetapi menargetkan sampai 2030 (atau lebih dini) tidak meningkatkan volume gas limbah dan berangsur-angsur mengurangi-nya. Ini merupakan indikasi yang menggembirakan dalam perjuangan menanggulangi perubahan iklim global.

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Ban Ki-moon menegaskan bahwa perubahan iklim sedang menjadi masalah zaman dan perlu segera ditangani. Kalau semakin lambat, umat manusia harus membayar dengan harga mahal. Sekretaris Eksekutif Komite PBB tentang Perubahan Iklim (IPCC), Chirtiana Figueres menunjukkan bahwa hasil Konferensi COP-20 akan menjadi landasan yang penting bagi kesepakatan seluruh dunia untuk bersama-sama berupaya mengubah semua kesempatan dan potensi menjadi kenyataan. Sementara itu, Menteri Lingkungan Hidup Peru, Manuel Pulgar-Vidal- negara tuan rumah konferensi  ini menegaskan bahwa konferensi di Lima adalah saat penting untuk mencapai permufakatan- permufakatan tentang perubahan iklim pada tahun 2015. Apakah negara-negara bisa menguasai kesempatan ini  untuk membuka jalan bagi satu Perjanjian baru tentang menghadapi perubahan iklim  di seluruh dunia atau tidak? Opini umum sedang menunggu-nunggu upaya dan tanggung jawab setiap negara anggota  terhadap masa depan planit ini./.


Komentar

Yang lain