RDRK menghadapi tekanan dari sanksi-sanksi baru

(VOVWORLD) - Dalam waktu sebulan secara bertubi-tubi, Republik Demokrasi Rakyat Korea (RDRK) menderita tekanan dari sanksi-sanksi yang dikenakan oleh komunitas internasional bersangkutan dengan berbagai uji coba nuklir negara ini. Bahkan negara yang mempunyai hubungan dagang yang erat dengan RDRK yaitu Tiongkok baru-baru ini juga memanifestasikan pandangannya yang lebih keras terhadap RDRK. Apakah tekad komunitas internasional yang semakin meningkat dalam mengekang ambisi nuklir RDRK  bisa implementarif  atau tidak menjadi hal yang sangat diperhatikan oleh opini umum dewasa ini.
RDRK menghadapi tekanan dari sanksi-sanksi baru - ảnh 1Satu uji coba peluncuran rudal RDRK   (Foto: EPA-VNA) 

Dengan perbandingan 15 suara pro, tanpa suara kontra, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB), pada 11 September 2017 telah mengesahkan sanksi baru terhadap RDRK untuk memberikan balasan terhadap negara ini yang melakukan uji coba nuklir pada tanggal 3 September. Ini merupakan sanksi yang ke-9 sejak tahun 2006 dan merupakan sanksi ke-2 yang diesahkan oleh PBB pada tahun ini dengan banyak ketentuan yang paling keras selama ini bersangkutan dengan bidang-bidang unggulan Pyong Yang seperti tekstil-produk tekstil, minyak tambang dan energi. Diperkirakan, sanksi baru ini bisa membuat RDRK menderita kerugian lagi sebanyak 1,3 miliar USD per tahun.

 

Pesan yang lebih keras

Setelah DK PBB mengesahkan sanksi, Amerika Serikat (AS) juga mengumumkan dekrit administrasi untuk memperkuat sanksi terhadap RDRK. Dekrit ini memperluas daftar hitam perseorangan dan maujud yang melakukan aktivitas bisnis dengan RDRK. Yang patut diperhatikan ialah untuk pertama kalinya Tiongkok mengeluarkan pesan yang keras, mengenakan perintah larangan impor tekstil dan produk teksil serta hasil perikanan dari RDRK serta melarang ekspor beberapa produk dari minyak tambang, bijih besi dan batu bara dari negara ini. Menurut para pengamat,  perihal Beijing memasukkan tekstil dan produk tekstil ke dalam daftar larangan hubungan  dagang merupakan satu pukulan kuat terhadap perekonomian RDRK, karena tekstil dan produk tekstil adalah sumber ekspor yang besarnya nomor 2 dari RDRK setelah batu bara dan mineral. Pada tahun 2016, RDRK memperoleh nilai kira-kira 750 juta dolar USD dari ekspor tekstil dan produk tekstil, di antaranya volume ekspor  ke Tiongkok mencapai 80%. Bersama dengan itu, sedikit-dikitnya tiga ranting bank besar yaitu Bank Tiongkok, Bank Pembangunan Tiongkok dan Bank Pertanian Tiongkok di kota Yanji yang berbatasan dengan RDRK telah melarang warga negara RDRK membuka rekening atau melakukan transfer uang. Dengan demikian, bisa dilihat bahwa untuk pertama kalinya, Beijing telah “menyampaikan satu pesan yang lebih jelas” kepada Pyong Yang. Gerak-gerik Beijing ini membuat Washington merasa puas, karena selama ini, AS selalu menyatakan bahwa Tiongkok belum serius dalam mengekang negara tetangga ini. Dengan pengaruh dari sanksi-sanksi dulu, walaupun Beijing telah membatasi impor dari Pyong Yang, tapi ekspor tetap meningkat 30% pada paro pertama tahun ini. Juga selama 6 bulan ini, nilai perdagangan bilateral antara dua negara tetap meningkat 10%, mencapai lebih dari 2,6 miliar dolar USD.

 

Pengaruh-pengaruh langsung

Sanksi-sanksi dengan ketentuan-ketentuan yang paling kuat selama ini sedang menimbulkan pengaruh langsung terhadap kehidupan warga di daerah perbatasan Tiongkok-RDRK. Di Kota Hunchun dari Provinsi Jilin (Tiongkok), banyak demonstrasi telah meledak. Puluhan toko telah harus tutup sehingga membuat perusahaan-perusahaan pengemasan, distribusi, sopir dan restoran juga turut terkena pengaruh. Kotamadya-kotamadya di Tiongkok Timur Laut yang sedang mengalami kesulitan karena kemerosotan cabang industri berat seperti metalurgi atau eksploitasi tambang, sekarang ini menjadi daerah yang terkena akibat dari perintah isolasi terhadap RDRK. Dalam pada itu, di beberapa zona industri di Kota Shenyang, banyak pabrik telah ditutup, para buruh turun ke jalan memegang papan mencari lapangan kerja. Pada bulan ini, juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, Hua Chunying juga memberitahukan bahwa Tiongkok telah “sangat banyak berkorban  dan harus membayar dengan harga yang terlalu mahal” untuk menaati sanksi-sanksi  PBB terhadap RDRK.

 

Apakah sanksi merupakan solusi optimal?

Terhitung hingga sekarang, PBB telah mengenakan 9 kali sanksi terhadap RDRK sejak tahun 2006. Akan tetapi, ada satu kenyataan bahwa ekonomi RDRK tetap belum menderita pengaruh  besar. Hal ini mungkin juga terjadi secara serupa dalam sanksi kali ini. Kalangan analis menilai bahwa tekanan yang dikenakan oleh negara-negara adi kuasa terhadap Pyong Yang hanyalah solusi sementara. Bagi Tiongkok, masalah mempertahankan kestabilan di daerah sebelah timur laut adalah  sangat penting dan  langkah deterensi yang keras ini hanyalah perhitungan yang bersifat “gertalk sambal saja”. Lebih dari pada siapapun, Beijing mengerti secara jelas hargadari oleh sanksi-sanksi ini terhadap  ekonomi dalam negeri dan destabilitas di semenanjng Korea bisa membantu AS menciptakan pengaruh yang lebih besar di negara yang dekat dengan perbatasan. Akan tetapi, pada saat ini, Beijing terpaksa harus ikut serta dalam upaya-upaya keras dari komunitas internasional ketika ingin memperbaiki hubungan dengan AS dan memperkokoh beberapa masalah di dalam negeri. Bahkan AS pun, Presiden Donald Trump juga menekankan bahwa ini bukanlah solusi prioritas dari Washington.

Sembilan kali mengenakan sanksi, tapi selama 11 tahun ini, langkah-langkah ini belum berhasil-guna. Sanksi tidak bisa membuat RDRK melepaskan program nuklir dan rudal, meningkatkan sanksi tidak berhasil memutus urat nadi ekonomi RDRK, tidak bisa membantu memecahkan krisis seperti yang diinginkan oleh komunitas internasional. Sanksi harus diiringi dengan perundingan-perundingan yang bersifat strategis yang sebenarnya, tapi sayang sekali, semua perbahasan antara RDRK dengan komunitas internasional belum bisa berlangsung pada waktu ini.  

Komentar

Yang lain