Bentrokan Armenia – Azerbaijan dan akibat-akibatnya yang sulit diduga

(VOVworld) – Setelah berhari-hari terjadi baku tembak yang sengit, para pihak peserta bentrokan di kawasan yang dipersengketakan Nagorno – Karabakh antara Armenia dan Azerbaijan telah mencapai permufakatan gencatan senjata pada Selasa (5/4). Walaupun para pihak menegaskan tekad melaksanakan permufakatan gencatan senjata ini untuk menuju ke perundingan damai, menangani semua bentrokan, tapi asal usul perselisihan tentang etnis dan agama antara Azerbaijan dan Armenia sejak masa lampau serta pengaruh dari negara-negara lain yang bersangkutan bisa menimbulkan dampak-dampak yang mempengaruhi keamanan dan politik seluruh Eropa.


Bentrokan Armenia – Azerbaijan dan akibat-akibatnya yang sulit diduga - ảnh 1
Tank Azerbaijan di kawasan yang dipersengketakan tersebut
(Foto: THX/VNA)


Permufakatan gencatan senjata resmi berlaku pada Selasa siang (5/4) waktu lokal dan dilaksanakan dalam waktu beberapa jam kemudian. Sebelumnya, bentrokan yang meledak pada Sabtu (2/4) di kawasan yang dipersengketakan Nagorno – Karabakh menewaskan sedikitnya 90 orang, diantaranya ada juga warga sipil dan melukai ratusan orang yang lain. Akan tetapi, walaupun menyatakan menghormati permufakatan gencatan senjata yang baru saja ditanda-tangani, tapi semua pernyataan serta pandangan keras dari para pihak yang dengan tegas tidak “mundur” terhadap tuntutan kedaulatan, menandai bahwa ketegangan di kawasan ini bisa meledak kapan saja.


Perselisihan berasal dari masa lampau

Pada zaman Uni-Soviet, Nagorno-Karabakh merupakan satu provinsi otonomi dari negara Republik Sosialis Soviet Azerbaijan, namun baik Armenia maupun Azerbaijan bersengketa terhadap kawasan ini. Nagorno-Karabakh selama ini adalah kawasan pemukiman orang Armenia sejak dahulu. Bentrokan-bentrokan antara dua pihak telah terjadi sejak 1988 dan berlangsung selama bertahun-tahun kemudian. Runtuhnya Federasi Uni-soviet pada 1991 telah membongkar pagar-pagar terakhir yang mencegah kedua pihak Armenia dan Azerbaijan melakukan satu perang umum. Pada 6 Januari 1992, kawasan tersebut menyatakan merdeka dari Azerbaijan. Setelah 6 tahun berlangsungnya perang yang sengit, kedua pihak telah bersedia menanda-tangani gencatan senjata dan mengembalikan keadaan dulu kepada kawasan Nagorno-Karabakh.

Tanpa memperdulikan permufakatan gencatan senjata yang dicapai dan banyak perundingan damai kemudian hari, dengan peranan perantara dari kelompok Minsk dari Organisasi Keamanan dan Kerjasama Eropa (OSCE) yang dipimpin bersama oleh Rusia, Amerika Serikat dan Perancis, bentrokan tetap sering terjadi di kawasan ini. Dari tahun 2008, dua pihak telah mengadakan banyak pertemuan tingkat tinggi untuk menangani masalah, namun belum bisa mengajukan solusi karena kedua pihak menganggap kawasan yang dipersengketakan itu adalah wilayahnya dan tidak menerima opsi-opsi kerujukan yang dikeluarkan.

Dengan permufakatan gencatan senjata kali ini, para pihak berkomitmen menghormati permufakatan yang dicapai, mempertahankan status kuo, mengusahakan satu solusi untuk menangani bentrokan ini dengan langkah damai. Namun, semua pernyataan keras yang dikeluarkan kedua pihak serta intervensi langsung dari negara-negara yang bersangkutan telah membuat suasana di kawasan ini tambah panas. Pihak Azerbaijan menyatakan bahwa walaupun dua pihak telah menanda-tangani satu gencatan senjata, tapi hal ini tidak berarti Azerbaijan melepaskan minat memulihkan “kedaulatannya” terhadap kawasan Nagorno-Karabakh. Bersamaan itu menegaskan bahwa negara ini tidak takut “memberikan balasan” segera apabila permufakatan gencatan senjata yang baru saja dicapai itu dilanggar oleh pihak Armenia. Sementara itu, pihak Armenia juga dengan gigih membela komunitas orang Armenia di kawasan ini, bahkan menyatakan bahwa jika baku tembak di kawasan bentrokan tidak berhenti dan berkembang menurut arah menyeluruh, maka Armenia akan mengakui kemerdekaan Republik Nagorno-Karabakh.


Akibat-akibat yang sulit diduga

Bentrokan Azerbaijan – Armenia ini diikut-campur oleh negara-negara yang bersangkutan, diantaranya yang ikut campur secara langsung ialah Rusia dan Turki. Pada saat hubungan antara Ankara dan Moskwa belum menjadi baik setelah pesawat terbang Su-24 milik Rusia ditembak jatuh, sengketa antara Armenia, sekutu dekat dari Rusia dengan Azerbaijan, yang selama ini mendapat dukungan dari Turki, merupakan alasan bagi kedua pihak untuk mendemonstrasikan kekuatan dan pengaruhnya. Pada saat semua mitra di luar bentrokan mengimbau kepada Azerbaijan dan Armenia supaya mengekang diri dan menaati permufakatan gencatan senjata, maka Turki secara terang-terangan berdiri di sisi Azerebaijan dan menyatakan mendukung Azerbaijan sehabis-habisnya dan dengan segala harga. Untuk mendukung Azerbaijan, Turki menutup sama sekali garis perbatasan bersama dengan Armenia sehingga menimbulkan halangan yang tidak kecil terhadap hubungan-hubungan perdagangan dan ekonomi dari Armenia dengan dunia luar. Sedangkan bagi Armenia, Rusia merupakan satu sekutu yang dekat. Setelah peperangan tahap 1988-1994, Armenia pada kenyataannya memegang kontrol terhadap kawasan tersebut. Di sana ada pangkalan militer Rusia dan Rusia mendukung Armenia baik di segi politik maupun militer. Oleh karena itu, tidak kaget kalau Perdana Menteri Dmitry Medvedev, Kamis (7/4), juga tergesa-gesa melakukan kunjungan ke Armenia. Walaupun masalah Nagorno-Karabakh dari Armenia tidak berada dalam permufakatan-permufakatan dari persekutuan Rusia – Armenia, tapi Rusia juga pasti tidak berdiri di luar, karena jika situasi terhadap Armenia menjadi buruk, kepentingan Rusia pasti akan terpengaruh.

Kalangan analis menilai bahwa hanya satu picuan operasi militer saja, maka baku tembak di tempat yang panas ini mungkin akan cepat bereskalasi, melampaui kontrol dengan partisipasi dari banyak pihak. Meningkatnya situasi pertempuran ini bisa menyebabkan banyak akibat yang sulit diduga dan melanda luas dalam skala besar. Hal ini pasti tidak hanya berpengaruh terhadap keamanan dan kestabilan di kawasan Kaukasus Selatan saja, tapi juga landas kontinen Eropa. 

Komentar

Yang lain