Eropa terpecah-belah karena alokasi kuota migran

(VOVWORLD) - Mahkamah Hukum Eropa, 6 September, telah menolak gugatan Hungaria dan Slovakia terhadap rencana alokasi kaum migran antar-negara Uni Eropa. Pernyataan ini menegaskan bahwa mekanisme ini mempertimbangkan alokasi kaum migran untuk membantu Yunani dan Italia menghadapi dampak-dampak dari krisis migran tahun 2015. Akan tetapi vonis dari Mahkamah Hukum Eropa akan lebih mempertegang situasi, karena hal itu menimbulkan kontradiksi antar-negara anggota dalam Uni Eropa.
Eropa terpecah-belah karena alokasi kuota migran - ảnh 1 Kaum migran (Foto :VNA)

Pernyataan resmi dari Mahkamah Hukum Eropa pada 6 September, menunjukkan “Mahkamah ini menolak tindakan-tindakan Slovakia dan Hungaria yang menentang mekanisme sementara tentang pengaturan kembali  secara wajib terhadap kaum migran”. Menurut vonis ini, Hungaria harus menerima lebih dari 1 200 migran, Slovakia harus menerima lebih dari 800 migran.

Kuota migran terbentur dengan  tentangan  dari 2 tahun lalu

Kenyataan memperlihatkan bahwa negara-negara anggota Uni Eropa telah terpecah-belah secara mendalam sejak Uni Eropa mengesahkan program alokasi kuota migran untuk melakukan pemukiman kembali kepada 160 000 migran pada tahun 2015. Pada saat itu, Mahkamah Hukum Eropa telah meminta kepada negara-negara dalam blok supaya bergotong-royong untuk menangani masalah ini. Sesuai dengan kemampuannya masing-masing, negara-negara akan harus menerima jumlah migran tertentu. Sementara negara-negara besar dan punya potensi ekonomi seperti Jerman akan menerima 20%, Perancis: 15%, maka negara-negara di Eropa Timur seperti Hungaria dan Slovakia menerima kira-kira 1-2%. Meskipun alokasi ini diesahkan Uni Eropa menurut mayoritas sejak September 2015, tetapi rencana akomodasi migran telah terbentur dengan tentangan keras dari banyak negara Eropa Tengah dan Eropa Timur, di antaranya ada Slovakia, Czech, Romania dan Hungaria. Negara-negara ini telah memberikan suara menentang kuota-kuota penerimaan migran secara wajib. Oleh karena itu, menurut statistik, sampai Juli 2017, hanya ada kira-kira 20 000 orang yang bisa melakukan pemukiman kembali menurut rencana. Jerman merupakan negara yang menerima paling banyak migran kira-kira 4 000 orang, yang menyusul kemudia yalah Perancis: lebih dari 3 700 orang, Belanda: kira-kira 1 600 orang dan Swedia: kira-kira 1 200 orang. Hungaria dan Polandia belum menerima migran manapun, sementara itu Republik Czech juga menolak penerimaan migran selama setahun ini, sedangkan Slovakia hanya menerima jumlah orang yang amat  sedikit.

Ada banyak alasan yang membuat negara-negara Eropa Tengah dan Eropa Timur menolak penerimaan migran. Yang pertama yalah mereka menyatakan bahwa memaksakan kuota terhadap negara-negara anggota yang berdaulatan adalah tidak masuk akal dan tidak bisa diterima. Yang kedua, Eropa Tengah dan Eropa Timur merupakan negara-negara miskin di Eropa. Yang ketiga, alasan yang lebih penting lagi yalah kekhawatiran-kekhawatiran baru tentang bahaya keamanan yang potensial. Serangkaian serangan teroris di negara-negara Eropa Barat belakangan ini, di antaranya ada serangan-serangan di Inggris dan Jerman yang telah menimbulkan kekhawatiran tentang terjadinya serangan teror yang sama di negara-negara Eropa Tengah dan  Eropa Timur.

Eropa terus tidak bersatu  tentang kuota migran.

Vonis Mahkamah Hukum Eropa pada tanggal 6 September dianggap sebagai satu kegagalan bagi persatuan  dan kesatuan Uni Eropa. Manifestasinya yang paling jelas  ialah segera setelah vonis ini dikeluarkan, Perdana Menteri Slovakia, Robert Fico memberitahukan: Negara ini akan tidak mengubah pandangan-nya terhadap mekanisme alokasi kuota kaum migran. Slovakia akan terus berjuang dalam masalah ini. Sementara itu, Menteri Luar Negeri Hungaria, Peter Szijjarto mencela keputusan  Mahkamah Hukum Eropa sebagai keputusan yang “tidak bertanggung jawab dan tidak bisa diterima”, mengancam keamanan dan masa depan Eropa. Presiden Republik Czech, Milos Zeman menegaskan: Czech tidak perlu harus menerima mekanisme-mekanisme wajib tentang alokasi migran antarnegara anggota Uni Eropa. Bahkan, Presiden Milos Zeman menekankan: Negara ini menerima kehilangan sumber-sumber bantuan keuangan dari Uni Eropa untuk ditukar dengan  tidak harus  menerima kaum migran. Praha bisa ikut  berupaya memecahkan krisis dengan bentuk lain, jadi tidak harus  menerima  kaum migran. Setelah pernyataan Presiden Czech tersebut, Praha telah menggelarkan lagi 1 100 polisi di luar negeri untuk menjaga garis perbatasan, memantau situasi, memeriksa keamanan dan  memeriksa bermacam-macam jenis kendaraan.

Pada pihak Uni Eropa, Presiden Komisi Eropa, Jean-Claude Juncker memperingatkan kepada negara-negara yang menentang rencana blok ini akan kehilangan bantuan keuangan yang diterima dari pengelolaan terhadap arus kaum migran. Sementara itu, Wakil Senior Uni Eropa urusan kaum migran, Dimitris Avramopoulos menegaskan: Hungaria, Republik Czech dan Polandia akan harus menghadapi sanksi-sanksi hukuman menurut ketentuan blok ini kalau tidak melaksanakan kewajiban-nya dalam beberapa pekan mendatang. Italia juga berseru untuk memangkas bantuan kepada negara-negara yang tidak memanifestasikan upaya dalam menerima kaum migran. Sementara itu, Kanselir Jerman, Angela Merkel, pada Minggu (10 September), telah memperingatkan kepada negara-negara yang tidak mau berpartisipasi pada program alokasi kuota kaum migran mungkin akan ditolak memberi bantuan di bidang-bidang lain. Pemimpin Jerman menegaskan: Kalau tidak ada persatuan dalam memecahkan masalah kaum migran, maka juga tidak akan ada persatuan di bidang-bidang lain dan itulah merupakan derita dalam blok konektivitas dari Eropa.

Kontradiksi antarnegara anggota Uni Eropa di sekitar program realokasi kuota  kaum migran jelaslah sudah merintangi pelaksanaan komitmen Uni Eropa dalam mengurangi beban Yunani dan Italia - dua negara pintu gerbang masuknya kaum migran dari tahun 2015. Vonis terkini dari Mahkamah Hukum Eropa semakin menunjukkan perpecahan dalam internal Uni Eropa. Hal ini membuat Uni Eropa menjadi lebih sulit pada latar belakang Uni Eropa sedang sibuk menangani akibat Brexit.

Komentar

Yang lain