Ketegangan dagang Jepang – Republik Korea menghadapi bahaya melanda luas

(VOVWORLD) - Kontradiksi antara Republik Korea dan Jepang sudah mengalami eskalasi menjadi satu “perang yang menyeluruh” dan konfrontasi antara dua negara diprakirakan akan semakin serius. Dari pembatasan ekspor teknologi, kontradiksi antara Jepang dan Republik Korea sedang berpindah ke bidang konsumsi dan pariwisata. Kenyataan ini mencemaskan opini umum tentang dampaknya terhadap ekonomi di kawasan.
Ketegangan dagang Jepang – Republik Korea menghadapi bahaya melanda luas - ảnh 1 Ilustrasi (Foto: VNA)

Ketegangan dalam hubungan antara Seoul dan Tokyo meningkat sejak Jepang pada bulan lalu memperketat ekspor tiga jenis bahan teknologi tinggi yang digunakan dalam produksi semi-konduktor dan layar televisi ke Republik Korea. Seoul menganggap bahwa ini merupakan gerak-gerik balasan yang dilakukan Tokyo pada latar belakang dua negara sedang berdebat tentang pemberian kompensasi untuk para korban Republik Korea yang menjalankan kerja paksa dalam periode Jepang menjajah Semenanjung Korea (1910 – 1945).

Bahaya melanda ke bidang-bidang lain.

Pada latar belakang ketegangan dagang antara dua negara semakin meningkat, pada 2/8 yang lalu, kabinet pimpinan Perdana Menteri (PM) Jepang, Abe Shinzo telah mengesahkan penyingkiran Republik Korea ke luar dari “Daftar Putih” para mitra dagang yang tepercaya. Menurut itu, kira-kira 1.000 jenis barang dagangan Jepang yang mau diekspor ke Republik Korea haruslah disampaikan kepada Pemerintah Jepang untuk diesahkan pesanan demi pesanan. Tokyo juga bisa menurut kemauannya menyesuaikan waktu klarifikasi terhadap pesanan-pesanan ekspor.

Menghadapi gerak-gerik Tokyo tersebut, Pemerintah Republik Korea mulai menggelarkan langkah-langkah untuk menghadapi Jepang secara menyeluruh. Presiden Republik Korea Moon Jae-in menyatakan bahwa Seoul “tidak mau menyerah” terhadap Tokyo sekali lagi. Apabila Jepang dengan sengaja merugikan perekonomian Republik Korea, maka negara ini juga harus menderita kerugian setimpal. Dan juga pada 2/8, Deputi PM merangkap Menteri Keuangan Republik Korea, Hong Nam-ki menyatakan bahwa negara ini juga akan menyingkirkan Jepang dari “Daftar Putih” para mitra dagang yang tepercaya bagi Republik Koera. Seoul juga memutuskan mengajukan gugatan terhadap Jepang kepada Organisasi Perdaganagn Dunia (WTO) secepat mungkin. Khususnya, Istana Presiden Republik Korea menyatakan akan mempelajari penghapusan Perjanjian penjaminan informasi militer bersama (GSOMIA) Republik Korea-Jepang. Dan untuk menghindari kebergantungan pada bahan dari Jepang, Republik Korea akan melakukan investasi sebesar 6,5 miliar USD terhadap 100 jenis barang dagangan strategis yang penting untuk menjamin kestabilan sumber pasokan sebelum tahun 2024.

Semua perkembangan baru-baru ini menimbulkan gelombang imbauan untuk memboikot produk-produk asal Jepang, dari brand-brand feisyen sampai toko-toko mie “ramen”, barang kosmetik, bir dan pariwisata. Warga Republik Korea sedang memindahkan destinasi wisata-nya ke kawasan Asia Tenggara, alih-alih datang ke Jepang. Kecenderungan penurunan itu tidak hanya terjadi terhadap misi-misi penerbangan ke Tokyo, Ibukota Jepang, melainkan juga terjadi terhadap obyek-obyek wisata titik berat di Jepang.

Pemerintahan Kota Seoul memberitahukan sedang mempelajari penghentian temu pergaulan sipil dengan daerah-daerah Jepang. Sebelumnya, menurut rencana, Kota Seoul akan mengundang daerah-daerah Jepang menghadiri event pada bulan September dan Desember mendatang. Selain itu, Seoul juga berencana menghadiri beberapa event yang diadakan di Jepang pada akhir bulan ini, seperti “Festival olahraga pemuda Asia” di Tokyo.

Berdampak terhadap konektivitas-konektivitas di kawasan

Ketegangan dagang antara Jepang dan Republik Korea berdampak negatif baik terhadap dua negara serta rantai pemasokan teknologi global maupun terhadap proses perundingan Perjanjian Perdagangan Bebas yang terbesar di dunia yaitu Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) dimana baik Republik Korea maupun Jepang menjadi anggotanya. Menurut para pakar, karena RCEP dilaksanakan menurut mekanisme permusyawarah mufakat, maka semua konflik bilateral antara negara-negara anggotanya bisa menghalangi seluruh proses perundingan. Jeong Hyung-Gon, peneliti senior di Institut Kebijakan Ekonomi Internasional Republik Korea menilai bahwa ketegangan antara Seoul dan Jepang bisa menimbulkan pengaruh yang berbahaya terhadap proses perundingan, menghalangi pertemuan-pertemuan tahunan antara para pemimpin senior dua negara untuk terus mendorong proses penyempurnaan RCEP.

Lebih-lebih lagi, Jepang dan Republik Korea merupakan dua negara yang memberikan sumbangan penting dalam upaya mengintegrasikan ekonomi regional dan menganeka-ragamkan pasar pada saat fenomena-fenomena anti-liberalisasi perdagangan sedang muncul. Oleh karena itu, ketegangan antara dua negara juga berpengaruh terhadap pertukaran dagang di kawasan Asia.

Pada latar belakang, sengketa dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok masih sedang berada dalam tahap yang panas, hubungan dingin antara Jepang dan Republik Korea pada beberapa pekan ini telah mencemaskan para ekonom. Yang patut diperhatikan ialah sekarang masih belum ada indikasi ketegangan ini turun suhu.

Berita Terkait

Komentar

Yang lain