AS di Bawah Kepemimpinan Presiden Joe Biden

(VOVWORLD) - Pada Rabu (20/1), waktu Amerika Serikat (AS), berlangsung event penting dan dinanti-nantikan masyarakat AS serta dunia, yaitu acara pelantikan Presiden terpilih Joe Biden. Event tersebut tidak hanya menandai perubahan penting dalam hal personalia dalam mesin aparat kekuasaan AS, tetapi juga dinilai menjadi event yang mengawali perubahan-perubahan besar terkait dengan kebijakan dalam negeri dan luar negeri dari negara adi kuasa terbesar di dunia.
AS di Bawah Kepemimpinan Presiden Joe Biden - ảnh 1Setelah  kerusuhan di Gedung Kongres di Capitol Hill pada 6/1 lalu, AS memperketat keamanan untuk acara pelantikan Presiden terpilih Joe Biden  pada 20/1 (Foto: AP) 

Acara pelantikan Presiden terpilih Joe Biden, Presiden ke-46 AS, berlangsung pada Rabu (20/1), tanpa kehadiran Presiden yang habis masa baktinya Donald Trump. Ini dianggap sebagai hal yang belum pernah terjadi dalam sejarah AS modern, mencerminkan adanya kontradiksi-kontradiksi dan perbedaan-perbedaan mendalam dalam pandangan kedua pemimpin. Oleh karena itu, perhatian utama masyarakat saat ini ialah apa perbedaan dalam langkah-langkah pertama yang dilakukan Presiden baru Joe Biden dibandingkan pendahulunya.

 

Membalikkan Kebijakan-Kebijakan Pemerintah Pendahulu

Beberapa hari sebelum acara pelantikan Presiden Joe Biden, pada 16/1 lalu Kepala Staf Gedung Putih dari Presiden AS untuk masa bakti mendatang, Ron Klain menyampaikan naskah MoU kepada kalangan media, di antaranya memberitahukan: dalam hari pelantikan (20/1), Presiden Joe Biden berencana akan menandatangani sekitar sepuluh dekirit eksekutif, termasuk beberapa dekrit yang bersifat membalikkan kebijakan-kebijakan Pemerintah pendahulu seperti bergabung kembali dalam Perjanjian Paris tentang perubahan iklim (COP21), dan menghapuskan perintah larangan mobilitas terhadap negara-negara Islam.

Menyusul kemudian, menurut beberapa sumber berita, Presiden baru AS juga akan mengumumkan Rancangan Undang-Undang mengenai Imigrasi yang bernama “Dreamers”, membuat peta jalan selama masa 8 tahun agar sekitar 11 juta migran di AS bisa menjadi warga negara AS. Rancangan Undang-Undang tersebut merupakan langkah bagi Presiden baru melaksanakan komitmen penting dalam kampanye pemilihan terhadap para pemilih Latin dan komunitas-komunitas migran lainnya setelah 4 tahun Presiden Donald Trump mengenakan kebijakan pembatasan imigrasi dan mengusir serenteran migran ilegal. Dalam kampanye pemilihan, Presiden Joe Biden menyebut tindakan-tindakan Pemerintah Donald Trump terhadap masalah imigrasi sebagai “gempuran terus-menerus” terhadap nilai-nilai AS, dan menegaskan akan “mengatasi kerugiannya”.

AS di Bawah Kepemimpinan Presiden Joe Biden - ảnh 2Di Taman "National Mall" penuh dengan bendera, AS melakukan persiapan untuk acara pelantikan Presiden Joe Biden (Foto: AP)

Ini belum habis, pada 18/1 lalu, Sekretaris pers dari Presiden terpilih, Jen Psaki mengatakan bahwa Pemerintah baru berencana tidak akan menghapuskan pembatasan imigrasi pada 26/1 ini, tetapi akan terus memperkuat langkah-langkah kesehatan publik terkait mobilitas lintas negara, guna membatasi penularan wabah Covid-19. Pernyataan tersebut dikeluarkan segera setelah Gedung Putih mengkonfirmasikan bahwa perintah larangan masuk ke AS terhadap penumpang dari Inggris beserta 26 negara dalam block Schengen dan Brasil, akan habis berlakunya pada 26/1 ini.

Menurut penilaian-penilaian, hampir semua langkah pembalikan kebijakan dari Presiden baru fokus pada masalah-masalah yang sudah dilakukan Presiden pendahulu tanpa disahkan oleh Kongres.

 

Tantangan

Namun, memegang jabatan Presiden AS dalam latar belakang situasi dalam negeri dan internasional mengalami banyak perubahan rumit, banyak masalah terkait diantaranya dinilai teramat buruk seperti permasalahan di sektar proses pemilihan presiden tahun 2020, dampak pandemi Covid-19, hubungan AS-Tiongkok paling buruk selama beberapa dekade terakhir,... dan sebagainya, sehingga membuat Presiden baru AS tentu saja harus menghadapi lebih banyak tantangan.

Di antaranya, kalangan analis menilai bahwa penyembuhan perpecahan dalam internal AS setelah serentetan masalah selama ini merupakan tantangan yang paling sulit bagi Joe Biden. Oleh karena itu, pertama-tama Presiden Joe Biden harus “menang” sudah sejak membacakan pidatonya dalam acara pelantikan pada Rabu (20/1), dengan latar belakang yang belum pernah terjadi sebelumnya, yaitu tanpa kehadiran pendahulu untuk menyampaikan ucapan terima kasih dan ucapan selamat, dalam situasi keamanan yang tegang setelah  kerusuhan di Gedung Kongres di Capitol Hill pada 6/1 lalu, dan terutama ada banyak anggota Partai Republik yang menyangsikan hasil pemilihan presiden yang baru ini dengan kemenangan Joe Biden.

AS di Bawah Kepemimpinan Presiden Joe Biden - ảnh 3Presiden terpilih Joe Biden (Foto: AP)

Menyusul kemudian, masalah menghadapi akibat pandemi Covid-19 dan memulihkan perekonomian yang mengalami resesi serius juga merupakan tantangan-tantangan berat bagi Presiden baru. Di bidang hubungan luar negeri, upaya menangani hubungan AS-Tiongkok yang tengah berada dalam situasi yang sangat menegangkan, memperbaiki hubungan antara dua tepian Samudra Atlantik atau mengubah cara pendekatan terhadap masalah Iran, denuklirisasi semenanjung Korea dan lain-lain, juga dianggap sebagai tantangan-tantangan besar bagi Pemerintah Presiden Joe Biden.

Meskipun demikian, menurut kalangan analis, Presiden baru AS tetap memiliki kemudahan-kemudahan tertentu dalam memimpin Tanah Air. Yang pertama ialah perihal Partai Demokrat menduduki mayoritas kursi dan sedang mengontrol DPR, sekaligus punya keunggulan di Senat ketika memperoleh 50 kursi senator seperti faksi Republik, tetapi mempunyai suara yang bersifat menentukan dengan jabatan sebagai Ketua Senat, yang akan dipegang Wakil Presiden terpilih Kamala Harris dari Partai Demokrat.

Komentar

Yang lain