Hubungan AS-Rusia : Sulit dipasang kembali

(VOVWORLD) - Hubungan Washington-Moskow sedang terjebak pada situasi yang paling buruk sejak masa Perang Dingin. Serangkaian perselisihan, kontradiksi, perdebatan, tuduhan, sanksi dan balasan satu sama lain masih belum berakhir. Pada beberapa hari ini, tuduhan-tuduhan di sekitar serangan kimia di Suriah terus mendorong Amerika Serikat (AS) dan Rusia pada dua ujung permusuhan, bahkan satu skenario serangan militer telah disiapakana. Sampai saat ini masih sangat sulit untuk mencari tanda-tanda kerjasama antara dua negera adi kuasa ini pada masa yang dekat.
Hubungan AS-Rusia : Sulit dipasang kembali - ảnh 1Presiden AS Donald Trump (kiri) dan Presiden Rusia, Vladimir Putin (Foto :VNA) 

Perang mulut dan penjatuhan sanksi satu sama lain bersangkutan dengan kasus serangan racun terhadap mantan intel Rusia belum habis, maka hubungan Rusia-AS terus terjebak lagi dalam perputaran ketegangan baru yang bersangkutan dengan dugaan serangan dengan menggunakan senjata kimia di Suriah.

Tuduhan menggunakan senjata kimia di Suriah membuat hubungan Rusia-AS mengalami krisis serius. Pada saat AS memperingatkan akan melakukan tindakan militer terhadap Suriah, Rusia menegaskan informasi tentang serangan ini hanyalah palsu, bersamaan iu akan memberikan gerak gerik balasan yang sama. Semua peringatan yang tajam dari dua fihak selama 48 jam ini membuat komunitas internasional sangat mencemaskan terjadinya satu perang militer yang sudah dekat.

Sejarah bentrokan

Ketegangan antara dua negara yang berkonfrontasi sejak masa Perang Dingin meningkat pada beberapa tahun belakangan ini. Bentrokan serius pertama dalam hubungan Rusia-AS pada zaman modern berlangsung pada tahun 1999 dengan dimulainya intervensi NATO yang dikepalai oleh AS terhadap Yugoslavia. Selanjutnya, suasana hubungan Rusia-AS menjadi lebih buruk karena operasi terhadap Irak yang dilaksanakan persekutuan militer pada tahun 2003 dengan pengerahan AS di Irak, menggulingkan pemimpin Libia, Muammar Gaddafi. Rusia menganggap ini sebagai intervensi AS yang kassar dan tidak bertanggung jawab pada perang saudara Libia dengan tujuan menmaksakan “demokrasisasi” negeri ini.

Setelah Rusia menggabungkan Semenanjung Krimea pada tahun 2014 dan berlangsungnya perang antara Kiev dan kaum pembangkang dengan disponsori Kremlin, kepercayaan dalam hubungan antara Moskow dan Washington semakin  mengalami keruntuhan serius. 

Tidak hanya perang mulut saja, kedua fihak juga mengeluarkan sanksi-sanksi satu sama lain. Washington mengenakan sanksi tentang sistem visa, melakukan embargo keuangan dan memblokir harta benda dari serentetan tokoh di kalangan politisi, wirausaha, semua perusahaan dan bank dari Rusia. Moskow juga tidak tanggung-tanggung ketika membatasi dan mengurangi banyak diplomat AS di Rusia.

Prahara dalam hubungan antara dua negera terus muncul ketika akhir-akhir ini, AS menuduh Rusia melakukan campur tangan pada pemilihan Presiden AS pada tahun 2016. Ketegangan semakin mengalami eskalasi ketika kedua fihak saling melemparkan kesalahan yang bersangkutan dengan serang racun terhadap mantan intel Rusia  di Inggris. Rusia mengusir 60 diplomat AS, menutup Konsulat Jendral AS di Saint Petersburg untuk memberikan balasan  terhadap AS yang memasukkan  38 perseorangan dan organisasi Rusia ke dalam daftar  sanksi baru.

Kegagalan  dalam upaya mengusahakan solusi untuk masalah Suriah telah menjerumuskan Rusia dan AS berdiri di dua tepi jurang peperangan.

Di satu fihak yalah Rusia dengan para sekutu Iran dan Turki  yang membantu Pemerintah Suriah  pimpinan Presiden Bashar Al-Assad dan di lain fihak yalah AS dan para sekutu Barat yang membantu faksi oposisi di Suriah untuk melawan Pemerintah Suriah. Dan serangan dengan menggunakan senjata kimia di Suriah seperti tetesan air yang menumpahkan gelas sehingga mendorong kontradiksi naik  ke klimaks.

Sulit ada kerjasama dalam masa depan yang dekat.

Sejak mantan Presiden Barack Obama dan timpalannya dari Rusia, Vladimir Medvedev menyatakan menggalang kembali hubungan di Istana Kremlin pada pertemuan bilateral tahun 2009, pada kenyataannya hubungan Rusia dan AS hanya berjalan menurut dua putaran yaitu  konfrontasi dan  sanksi. Kecurigaan dan perselisihan kian meningkat. Rusia sepertinya selalu menunjukkan satu sikap yang tak mau memberi konsesi atas tindakan-tindakan yang dianggap mengancam ruang keamanan mereka. Sedangkan AS dan Barat bersama-sama dengan sanksi-sanksi terhadap Rusia juga menunjukkan tidak menerima sebuah negeri Rusia yang kuat dan mampu mengancam rencana-rencana memperluas pengaruh-nya. Dan Suriah atau kalau diperluas ialah kawasan Timur Tengah dengan posisi geostrateginya yang penting, kedua pihak tidak ingin kehilangan peranan pengaruh-nya di kawasan ini.

Pada saat ini, dunia tetap sedang menahan nafas untuk menunggu reaksi dari semua pihak di Suriah. Banyak sumber berita menegaskan bahwa kapal-kapal selam ofensif dari Inggeris telah mendapat perintah untuk menuju ke jarak tembak rudal yang efektif guna siap bagi satu serangan terhadap Suriah. Sementara itu, dengan kehadiran sedikitnya 4 kapal induk dan 2 kapal selam di dekat Suriah, Angkatan laut AS sedang memiliki kira-kira 400 rudal penjelajah Tomahawk. Sedangkan tentara Pemerintah Suriah dan Rusia semuanya sedang diletakkan dalam situasi alarm tinggi dalam menghadapi bahaya serangan-serangan yang dilakukan AS dan para sekutunya di medan perang Suriah. Semuanya telah siaga dan hanya menunggu keluarnya perintah melakukan serangan. Dalam menghadapi perkembangan-perkembangan ini, pasti tidak bisa menunggu adanya terobosan dalam hubungan Rusia-AS pada waktu mendatang.

Komentar

Yang lain