Inggeris menjelang hari penyelenggaraan referendum

(VOVworld) – Hanya tinggal sepekan lagi (23/6), para pemilih Inggeris akan memberikan suara untuk memutuskan apakah negara ini tetap tinggal di dalam Uni Eropa atau tidak. Berbagai jajak pendapat menjelang hari referendum menunjukkan bahwa kecenderungan pendukung haluan Inggeris keluar dari Uni Eropa sedang lebih banyak daripada jumlah orang yang menginginkan Inggeris tetap tinggal di dalam Uni Eropa. Walaupun prosentase ini selisihnya tidak terlalu banyak, namun ini merupakan hal yang mencemaskan sehingga membuat kalangan politisi Inggeris dan pimpinan Uni Eropa melakukan banyak gerak gerik supaya para pemilih Inggeris bisa melihat untung-ruginya jika Inggeris meninggalkan Uni Eropa.


Inggeris menjelang hari penyelenggaraan referendum - ảnh 1
Masalah tetap tinggal atau keluar dari Uni Eropa tetap panas di Inggeris
(Foto: AFP/VNA)


Referendum pada 23/6 ini bertujuan melaksanakan komitmen-komitmen yang dikeluarkan Perdana Menteri (PM) Inggeris, David Cameron dalam kampanye pemilihannya setelah Partai Konservatif merebut kemenangan dalam pemilu pada 5/2015. Untuk menanggapi imbauan dari Partai Konservatif dan Partai Kemerdekaan, kaum yang selama ini tidak setuju dengan masuknya Inggeris ke dalam Uni Eropa, maka PM David Cameron dalam kampanye pemilihannya pada saat itu telah berjanji bahwa jika di mencapai kemenangan dalam pemilu pada 2015, dia akan melakukan satu referendum tentang masalah Inggeris tetap tinggal atau keluar dari Uni Eropa. Akan tetapi, PM David Cameron sendiri tidak ingin melakukan referendum ini karena berbagai  resiko dan akibatnya.


Hasil mendadak dari berbagai jajak pendapat

Hasil berbagai jajak pendapat yang berturut-turut selama beberapa hari ini menunjukkan bahwa kampanye menggerakkan Inggeris keluar dari Uni Eropa (atau juga disebut sebagai Brexit) sedang menjadi lebih unggul. Menurut hasil dari perusahaan YouGov (yang dimuat di koran “The Times” pada 10/6) - Brexit sedang merebut 46% suara dukungan terbanding dengan kampanye penggerakan mempertahankan Inggeris tetap tinggal di dalam Uni Eropa yang mendapat 39% suara dukungan. Hasil ini jauh lebih tinggi terbanding dengan jajak pendapat yang dilakukan perusahaan ini pada sepekan lalu. Juga menurut YouGov, 11% jumlah responden belum mengeluarkan keputusan terakhir dan 4% lain memberitahukan tidak akan ikut memberikan suara. Kecenderungan yang serupa juga dicatat dari jajak pendapat opini umum yang dilakukan koran Inggeris “Independent”. Menurut itu, prosentase pendukung Brexit naik mencapai 55%, lebih tinggi 10% terbanding dengan prosentase penentangnya. Ini merupakan keunggulan yang paling besar dari pihak pendukung Brexit sejak koran Independent melakukan berbagai jajak pendapat selama setahun ini. Sementara itu, hasil-hasil jajak pendapat yang dilakukan berbagai perusahaan konsultasi lain seperti ORB, ICM juga menunjukkan bahwa prosentase warga Inggeris yang menginginkan negara ini keluar dari Uni Eropa sedang lebih unggul.


Inggeris pernah melakukan referendum tentang penarikan diri dari EEC pada 1975

Masalah pemilih Inggeris tidak begitu senang dengan Uni Eropa berasal dari sejarah hubungan antara dua pihak. Dan referendum pada 23/6 ini bukan referendum pertama yang dilakukan Inggeris tentang negara ini tetap tinggal atau keluar dari Uni Eropa. Walaupun Inggeris dan Komunis Ekonomi Eropa (EEC) dulu yang sekarang adalah Uni Eropa memiliki hubungan yang terkait sudah lebih dari 40 tahun, tapi hasil yang patut diperhatikan ialah Inggeris bukan salah satu negara pendiri pertama blok ini. 20 tahun lebih setelah EEC didirikan (pada 1952), Pemerintah Inggeris, pada 1973, pada saat itu dikuasai Partai Buruh baru memasukkan Inggeris ke dalam Uni Eropa. Hanya dua tahun kemudian (pada 1975), satu referendum tentang penarikan diri dari EEC telah diadakan di Inggeris. Hasilnya ialah 67,2% warga memberikan suara yang tidak mendukung penarikan ini.

Selain itu, menurut kalangan analis, pada saat hampir kedua puluh delapan negara anggota Uni Eropa masuk Uni Eropa demi alasan-alasan yang jelas dan berjangka panjang, maka Kerajaan Inggeris belum pernah benar-benar ingin menjadi satu anggota Uni Eropa dalam arti yang sebenarnya. Manifestasi yang paling jelas ialah sampai  sekarang, Kerajaan Inggeris tetap berdiri di luar Eurozone dan zona bebas bepergian (Schenghen). Tenaga pendorong yang paling jelas dari Inggeris ketika masuk Uni Eropa barang kali ialah mendekati kepentingan-kepentingan perdagangan bebas di kawasan. Akan tetapi, warga Inggeris jarang kali memberikan kesan yang baik terhadap banyak kebijakan serta hak dan kepentingan istimewa dari Uni Eropa. Menurut statistik, Inggeris merupakan negara penyumbang besar bagi anggaran keuangan Uni Eropa ketika negara ini menjadi anggota blok (pada tahun lalu telah menumbangkan 13 miliar pounsterling), tapi pos anggaran keuangan yang diberikan Uni Eropa kepada negara ini tidak banyak (hanya sekitar 4,5 miliar pounsterling saja). Tambah lagi ialah perluasan berbagai ketentuan yang bersifat intervensi dari Uni Eropa terhadap sistim perundang-undangan, prinsip-prinsip pasar tenaga kerja serta banyak bidang lain telah menimbulkan kegusaran besar di kalangan masyarakat Inggeris. Belum juga disebutkan krisis keuangan dan kemacetan dalam memecahkan masalah kaum migran yang sedang dihadapi Uni Eropa.


Memutuskan masa depan Inggeris dan kestabilan Uni Eropa

Pada saat hasil jajak pendapat terus-menerus diumumkan, kalangan politisi Inggeris, pimpinan Uni Eropa dan banyak negara anggota lainnya juga sedang melakukan banyak gerak-gerik untuk menyerap dukungan dari para pemilih. Dalam perdebatan pada Selasa (14/6) antara para politikus papan atas di Inggeris yang ditayangkan langsung di internet, para politisi mendukung kecenderungan mengeluarkan Inggeris dari Uni Eropa serta membantah semua bahaya ekonomi jika Brexit terjadi dan berpendapat bahwa ketentuan-ketentuan umum dari Uni Eropa sedang menghalangi perkembangan perekonomian negara ini. Pihak pendukung Brexit juga mengeluarkan satu visi akan satu negara Inggeris yang “tak berdaya” terhadap gelombang ratusan ribu migran membanjiri negara ini setiap tahun sehingga sistim jasa publik menjadi berlebihan. Sementara itu, para politisi yang mendukung Inggeris tetap tinggal di dalam Uni Eropa menanggapi bahwa eksistensi dalam satu persekutuan yang tunggal akan memberikan perlindungan kepada warga Inggeris dalam hal sosial dan lapangan kerja, ditambah lagi, ia juga membolehkan Inggeris mendekati pasar bersama Uni Eropa dengan populasi sebanyak 500 juta jiwa. Kementerian Keuangan Inggeris memperingatkan bahwa anggaran keuangan bisa mengalami defisit sampai 30 miliar pounsterling jika skenario Brexit terjadi. PM Inggeris, David Cameron menegaskan bahwa pengaruh Inggeris dalam Uni Eropa akan lebih kuat jika pemilih memberikan suara mendukung negara ini tetap tinggal dalam Uni Eropa. Pada pihaknya, Presiden Dewan Eropa, Donald Tusk memperingatkan keluarnya Inggeris dari Uni Eropa bisa merupakan awalnya proses pengrusakan yang tidak hanya terhadap Uni Eropa saja, tapi juga terhadap seluruh kebudayaan politik Barat. Brexit akan merangsang kaum ekstrimis melawan integrasi Eropa dari dalam negara-negara anggotanya.

Jelaslah bahwa masa depan Inggeris pada khususnya dan kestabilan Uni Eropa pada umumnya bergantung amat besar pada hasil referendum ini. Semua persoalan akan jelas pada 23/6 ini setelah para pemilih Inggeris mengeluarkan keputusannya yang terakhir tentang apakah Inggeris tetap tinggal atau keluar dari Uni Eropa. 

Komentar

Yang lain