Kecemasan dalam perang menanggulangi perubahan iklim

(VOVWORLD) - Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang iklim baru saja berlangsung di Kota New York, Amerika Serikat (AS). Ini merupakan peluang sangat penting bagi PBB untuk menegaskan kembali komitmen semua negara untuk bersinergi menanggulangi perubahan iklim. Akan tetapi, pada latar belakang dunia sedang menghadapi tantangan-tantangan besar tentang lingkungan, hal yang diperlukan oleh PBB ialah tindakan konkret dari setiap negara alih-alih bicara dengan “kata muluk-muluk”.
Kecemasan dalam perang menanggulangi perubahan iklim - ảnh 1Pelajar dan mahasiswa di Australia melakukan pawai menanggulangi perubahan iklim  (Foto: AFP) 

Konferensi PBB tentang iklim dipilih sebagai peristiwa untuk mengawali pekan tingkat tinggi PBB di Kota New York (23-29 September). Hal ini menunjukkan arti pentingnya maupun sifat mendesak dari usaha menanggulangi perubahan iklim di seluruh dunia dewasa ini. Puluhan kepala negara, wakil berbagai pemerintah dan organisasi-organisasi internasional telah menghadiri peristiwa ini. 

Banyak komitmen

Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB, Antonio Guterres mengakui satu kenyataan yang pantas disesalkan ialah generasinya telah tidak berhasil melindungi warna hijaunya  Bumi dan “hal itu harus segera diubah sekarang dan harus diubah dengan tindakan, jadi bukan dengan kata-kata saja”.

Untuk menanggapi imbauan kepala PBB itu, pimpinan dan wakil dari 77 negara, 100 badan usaha dan 12 organisasi investasi internasional telah mengeluarkan berbagai gagasan dan komitmen aksi demi iklim. Kanselir Jerman, Angela Merkel menyatakan meningkatkan dua kali lipat sumbangannya dari 2 miliar Euro menjadi 4 miliar Euro (sama dengan 4,4 miliar USD) untuk “Dana Iklim Hijau” dari PBB untuk membantu negara-negara kurang berkembang menghadapi perubahan iklim. Chile merekomendasikan pembentukan “Persekutuan Ambisi Iklim” untuk menghimpun semua negara yang punya komitmen bersama dalam mengurangi emisi gas karbon menjadi 0% pada tahun 2050. Persekutuan negara-negara yang menganggap batu bara sebagai masa lampau juga diperluas dengan partisipasi dari 30 negara, 22 negara bagian dan 31 grup besar.

Sementara itu, Presiden Perancis, Emmanuel Macron menyatakan bahwa semua negara harus “membatasi impor barang-barang yang bisa menimbulkan polusi lingkungan pada saat perlu mencari cara  meningkatkan anggaran keuangan untuk proyek-proyek membersihkan lingkungan”,  sekaligus meningkatkan anggaran keuangan bagi “Dana Iklim Hijau” dari taraf 7 miliar USD menjadi 10 miliar USD. Bahkan Menteri Lingkungan Jepang, Shinjiro Koizumi, negara yang bergantung pada batu bara dan sedang berencana meningkatkan kapasitas berbagai pabrik listrik batu bara juga berkomitmen di sela-sela konferensi tentang “merealisasikan satu masyarakat tanpa gas buangan karbon” dan “bersedia memberikan sumbangan seperti halnya dengan negara-negara adi kuasa lain dalam perang menanggulangi perubahan iklim”.

Banyak negara bagian di AS juga memanifestasikan peranan yang positif di konferensi ini ketika menegaskan terus mempertahankan komitmen melaksanakan Perjanjian Paris tentang perubahan iklim. Grup Amazon baru-baru ini telah mengumumkan rencana mengurangi volume gas buangan karbon menjadi 0% pada tahun 2040, lebih dini 10 tahun terbanding dengan target yang dikeluarkan oleh Perjanjian Paris.

Tidak begitu ada prospek dari negara-negara yang membuang volume karbon yang besar

Banyak komitmen telah dikeluarkan, tapi kurang ada komitmen maupun gerak-gerik yang gigih dari beberapa negara yang membuang volume emisi gas rumah kaca besar sehingga menimbulkan perubahan iklim. Itu benar-benar merupakan hal yang pantas disesalkan. Yang patut diperhatikan ialah Presiden AS, Donald Trump, pemimpin yang telah menarik AS dari Perjanjian Paris tahun 2015 tentang perubahan iklim telah mengambil alasan melakukan sidang darurat tentang “musibah banjir” di Kota Houston untuk tidak menyampaikan pidato di depan konferensi ini. Menurut kalangan analis, kehadiran AS pada konferensi tentang penanggulangan perubahan iklim tahun ini jauh berlainan dengan konferensi-konferensi sebelumnya. Dulu, AS proaktif mendorong negara-negara lain  bertindak secara lebih serius tentang perubahan iklim, tapi pada tahun ini, pemerintah pimpinan Presiden Donald Trump tidak menggubris serentetan ketentuan tentang lingkungan yang pernah diajukan untuk mengurangi volume emisi gas rumah kaca dari kendaraan, pabrik termolistrik yang mengggunakan batu bara, sumur minyak dan sebagainya.

Pada pihak Tiongkok, negara ini tidak memberikan indikasi manapun untuk menunjukkan kesediaannya dalam mengajukan target-target yang lebih kuat untuk mengurangi bahan bakar fosil seperti yang dinanti-nantikan oleh banyak orang. Wang Ji, Wakil Istimewa dari Presiden Tiongkok, Xi Jinping telah minta perhatian bahwa Tiongkok sedang mempertahankan komitmen yang telah dikeluarkan dalam Permufakatan Paris tahun 2015, pada saat beberapa negara lain tidak. Tiongkok belum mau bertindak secara lebih kuat dalam upaya menanggulangi perubahan iklim ketika negara-negara yang lebih kaya tidak melakukan tindakan sepadan.

Perdana Menteri India, Narendra Modi juga hanya memberitahukan bahwa negara ini akan meningkatkan penggunaan energi terbarukan sampai tahun 2022, tapi tidak mengeluarkan komitmen manapun tentang usaha mengurangi kebergantungannya pada batu bara.

Dampak dari perubahan iklim sedang menimbulkan krisis besar di seluruh dunia di banyak aspek dan sedang menimbulkan pengaruh negatif terhadap kehidupan warga. Situasi ini akan semakin menjadi lebih buruk ketika dunia tidak bersinergi dalam perang menanggulangi perubahan iklim.  

Komentar

Yang lain