Eropa menghadapi bahaya terorisme ekstrimis

(VOVworld) – Serentetan serangan teror di Brussels (Belgia), tempat yang dianggap sebagai jantungnya  benua Eropa telah menunjukkan bahaya dari satu generasi “mujahidin” Eropa baru paham ekstrimis yang disebarkan oleh organisasi yang menamakan diri sebagai “Negara Islam”, (IS). Belum pernah, Eropa harus menghadapi tantangan-tantangan keamanan yang serius seperti sekarang. 


Eropa menghadapi bahaya terorisme ekstrimis - ảnh 1
Tempat-tempat kejadian serangan teror di Belgia
(Foto: independent-dantri.com.vn)

Ada tiga puluh empat orang yang tewas dan 230 orang lain cedera akibat serenteran ledakan di bandara dan stasiun metro di  Brussels, ibu kota Belgia pada Selasa pagi (22/3) telah membuat seluruh dunia tertegun. Musibah serangan teror terjadi hanya beberapa hari setelah polisi Belgia menangkap tersangka utama, Salah Abdeslam yang melaksanakan serangan teror di Paris pada 13/11/2015. Organisasi yang menamakan diri sebagai “Negara Islam”, (IS) telah menerima tanggung-jawab tentang serangan teror di Brussels dan memperingatkan  akan datangnya “hari-hari gelap” kalau Barat memberikan balasan.


Mengapa Belgia menjadi sasaran?

Belgia, jantungnya Uni Eropa (EU), bukannya tanpa alasan  menjadi sasaran serangan teror. Brussels dianggap sebagai sasaran yang paling sensitif di Eropa. Di sini adalah lokasi Markas Besar EU, Markas NATO, organisasi-organisasi dan perusahaan-perusahaan internasional dan juga adalah tempat otak politik Pemerintah Belgia. Juga dari Brussels, NATO telah mengerahkan pesawat-pesawat  tempur untuk ikut serta dalam operasi-operasi melawan IS di Timur Tengah.

Sejak serangan teror pada 13/11/2015 di Paris, ibu kota Perancis, polisi Belgia telah berkoordinasi erat dengan polisi Perancis dan badan kepolisian Eropa (Europol) untuk melakukan ratusan pemburuan yang ketat di Brussels yang hasilnya ialah telah berhasil menangkap teroris yang terkenal jahatnya, Salah Abdeslam. Satu kemenangan yang pernah membuat badan-badan anti terorisme dari Perancis dan Belgia merasa lega seperti telah berhasil membongkar satu sumbat ikatan terhadap semua investigasi tentang sẻangan teror di Paris. Akan tetapi, serangan teror pada Selasa (22/3) di Brussels telah membuat kalangan anti terorisme Belgia pada khususnya dan Eropa pada umumnya merasa tertegun. Jelaslah bahwa kaum teroris telah  pandai menyembunyikan diri  “dalam bayangan gelap” dalam menghadapi penggerebekan terus-menerus yang dilakukan oleh polisi Belgia dan dengan adanya serangan teror yang  mereka lakukan di tempat-tempat yang dijaga ketat yaitu bandara dan stasiun metro di dekat markas EU merupakan satu tantangan terhadap kalangan otoritas Belgia dan para pemimpin Eropa.

Persembunyian Salah Abdeslam, tersangka yang diburu secara paling keras di Eropa selama 4 bulan di kabupaten Molenbeek, ibu kota Brussels, Belgia membuktikan bahwa kaum ekstrimis mempunyai jaringan yang cukup kokoh untuk bisa “menyelamatkan” para kriminalitas dan mereka telah menggalang sarang teror di tengah-tengah benua  Eropa.


Bahaya terorisme ekstrimis

Serentetan serangan teror di Brussels sekali lagi memperlihatkan bahwa bahaya serangan teror terhadap seluruh Eropa sangat tinggi. Menurut angkat terkini yang diumumkan oleh Pusat analisis teror Perancis baru-baru ini, ada sampai 2.000 warga  Perancis, 1.600 warga Inggris, 800 warga Jerman dan lebih dari 530 warga Belgia telah diseret meninggalkan Eropa untuk ikut serta dalam gerakan-gerakan mujahidin ekstrimis. Kaum teroris sedang merekrut dan melatih para warga Eropa dengan tujuan memulangkan mereka ke ke kampung halaman dan melakukan serangan-serangan. Mereka mempunyai cukup surat identifikasi yang diperlukan, fasih berbahasa  dan mengetahui geografi, khususnya memiliki teknik penggunaan senjata. Badan-badan anti terorisme Eropa telah berhasil mencegah banyak intrik diantaranya, tapi sekarang ini, pasukan ini sedang berkelebihan dan pastilah banyak anasir teroris telah berhasil melarikan diri. Di samping itu, Eropa juga sedang menghadapi situasi kekerasan dari lapisan pemuda Islam, lapisan yang dianggap sebagai “sumber daya manusia yang berlimpah-limpah” bagi kaum teroris mujahidin. Para pemuda Islam di Eropa selalu menganggap diri sebagai korban dari semua prasangka dan diskriminasi di tempat kerja dan di masyarakat. Menurut hasil investigasi terkini tentang etnis minoritas dan diskriminasi di EU, 1/3 jumlah pemuda Islam koresponden tersebut telah menegaskan pernah terkena diskriminasi. Orang-orang yang memberikan reaksi yang paling kuat terhadap situasi ini berusia dari 16-24 tahun. Para pemuda ini mungkin mengalami pengangguran yang lebih besar dan mendapat upah yang lebih rendah terbanding dengan orang Eropa asli di atas satu pekerjaan. Akibatnya ialah mereka harus menderita kelaparan dan kemiskinan secara tidak sepadan.

Ditambah lagi, setiap hari, setiap jam, arus migran dari Timur Tengah dan Afrika tetap membanjiri Eropa dan tidak ada badan fungsional manapun yang bisa mengontrol siapa  migran yang melarikan diri karena perang, kelaparan dan kemiskinan sesungguhnya dan siapa kaum teroris, anggota IS. Hingga kini, walaupun telah mengalami banyak sidang darurat tingkat tinggi dalam internal EU dan antara EU dengan mitra-mitra lain seperti Turki dan lain-lain, tapi EU masih belum berhasil mencari solusi untuk mencegah arus migran yang masuk benua ini. Kebijakan dari negara-negara Eropa  tentang masalah ini juga sangat berbeda-beda dan justru perpecahan-perpecahan  dan  keretakan dalam internal EU itu sedang menjadi celah yang dimanfaatkan oleh kaum teroris untuk memperkuat aktivitas.  


Komentar

Yang lain