Konflik Hamas-Israel Membayangi Timur Tengah pada Tahun 2023

(VOVWORLD) - Konflik Hamas-Israel merupakan gejolak geo-politik yang menyeluruhi kawasan Timur Tengah pada tahun 2023. Ini merupakan konflik yang terbesar antara Israel dan Gerakan Islam Hamas selama beberapa dekade ini, merugikan jiwa besar terhadap dua pihak, bersamaan itu mengancam pengikisan 
Konflik Hamas-Israel Membayangi Timur Tengah pada Tahun 2023 - ảnh 1Asap naik setelah serangan-serangan Israel terhadap KOta Khan Yunis, Jalur Gaza Selatan pada tgl 09 Desember 2023 (Foto: AFP/VNA) 

Pada tgl 07 Oktober, Gerakan Islam Hamas di Jalur Gaza secara mendadak membuka serangan dengan skala besar ke zona-zona pemukiman dan pangkalan tentara Israel yang dekat dengan Jalur Gaza, membunuhi banyak orang dan menangkap ratusan sandera. Untuk memberikan balasan, Pemerintah Israel membuka operasi serangan dengan skala terbesar sejak tahun 1973 ke Jalur Gaza sehingga menjatuhkan kawasan ini ke dalam konflik militer yang terbesar selama beberapa tahun ini.

Konflik yang Sengit dan Krisis Kemanusiaan

Setelah lebih dari dua bulan terjadi, konflik Hamas-Israel belum mempunyai tanda dihentikan, tanpa memedulikan kerugian serius yang diderita kedua belah pihak dan krisis kemanusiaan semakin menjadi darurat. Sampai pertengahan bulan Desember, data-data dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Badan Kesehatan Jalur Gaza serta pemerintahan Israel telah menunjukkan bahwa ada hampir 20.000 orang yang tewas, di antaranya ada lebih dari 18.500 orang Palestina (termasuk gerakan Hamas dan warga sipil) dan sekitar 1.400 warga sipil dan serdaru Israel. Ini merupakan angka kerugian yang paling serius terhadap Israel maupun Palestina sejak tahun 1948.

Tidak hanya merugikan jiwa, konflik tersebut juga sedang merusak seluruh infrastruktur dan fondasi sosial-ekonomi dari Jalur Gaza – tempat pemukiman lebih dari 2,3 juta warga sebelum terjadi konflik.

Konflik Hamas-Israel Membayangi Timur Tengah pada Tahun 2023 - ảnh 2Komisaris Tinggi Uni Eropa urusan Hubungan Luar Negeri, Josep Borrell (Foto: Euronews)

Menghadapi kesengitan konflik di Jalur Gaza, upaya-upaya diplomatik di kawasan dan di dunia sedang dilaksanakan secara terus-menerus selama lebih dari dua bulan lalu di Timur Tengah. PBB juga menyelenggarakan lebih dari 10 sidang darurat untuk mendiskusikan situasi, bersamaan itu mengesahkan dua Resolusi untuk mendorong pencapaian gencatan senjata yang berjangka panjang, melalui itu bisa menggencarkan kegiatan pertolongan kemanusiaan dan lebih jauh lagi ialah mengusahakan solusi politik. Tetapi, tanpa memedulikan imbauan-imbauan dari banyak pihak, Israel dan Hamas hanya menyepakati waktu  penghentian sementara selama tujuh hari (dari tgl 24 November sampai 01 Desember) untuk melakukan serah-terima sandera dan memberikan bantuan kemanusiaan. Komisaris Tinggi Uni Eropa urusan Hubungan Luar Negeri, Josep Borrell menilai:

“PBB telah mendeskripsikan secara jelas tentang situasi di Jalur Gaza sekarang. Karena satu gencatan senjata yang mustahil tidak disahkan oleh Dewan Keamanan (DK) PBB, semua negara harus menyepakati beberapa permintan untuk mencapai serentetan tahapan untuk secara sementara menghentikan konflik agar membuat situasi kemanusiaan tidak menjadi lebih buruk”.

Mengancam Lingkungan Keamanan yang Tipis di Timur Tengah

Pada latar belakang konflik di Jalur Gaza mengalami perkembangan yang sulit diduga, lingkungan keamanan dan ekonomi di kawasan semakin terkena dampak berat. Di segi diplomatik, upaya-upaya dan hasil dalam memperbaiki hubungan antara Israel dengan negara-negara Arab di kawasan sedang berisiko rusak. Pada tanggal 14 Oktober, pemerintah Arab Saudi menyatakan untuk sementara menghentikan proses pembahasan tentang kemungkinan normalisasi hubungan dengan Israel. Untuk jangka panjang, kalangan pengamat menilai bahwa kalau konflik di Jalur Gaza melampaui kontrol dan jumlah korban warga sipil Palestina terlalu besar, maka Perjanjian Abraham bersejarah yang ditandatangani pada September 2020 tentang normalisasi hubungan antara Israel dan Uni Emirat Arab, Bahrain juga berisiko gagal.

Di segi ekonomi, dampak-dampak dari konflik di Gaza semakin besar. Pada akhir November lalu, Bank Sentral Israel memprakirakan bahwa ekonomi negara ini terkena kerugian setidaknya 53 miliar USD, dan apabila konflik berlangsung lama, angka ini bahkan akan lebih tinggi. Sementara itu, sistem ekonomi di Gaza dinilai sudah gagal. Selain itu, serangan-serangan yang dilakukan pasukan Houthi di Yaman dengan frekuensi semakin tinggi terhadap kapal-kapal kargo di Laut Merah, dengan alasan bahwa kapal-kapal ini datang dan pergi dari Israel, sedang mengganggu jalur maritim urat nadi dunia. Dari pertengahan bulan Desember, serentetan perusahaan transportasi laut beserta grup-grup papan atas di dunia seperti: MAERSK, Hapag-Lloyd, CMA-CGM, dan lain-lain telah menyatakan untuk sementara menghentikan mobilitas melewati Laut Merah atau menghindari melewati Terusan Suez guna mengurangi bahaya serangan terhadap kapal-kapal kargo. Perkembangan ini akan berdampak kuat terhadap perdagangan kawasan dan dunia karena jalur Terusan Suez dan Laut Merah menduduki 50% pasar transportasi container global.

Menghadapi situasi saat ini, komunitas internasional hampir semuanya beranggapan bahwa konflik di Jalur Gaza hanya diselesaikan sampai akarnya dengan upaya semua pihak dalam mendorong pelaksanaan solusi dua negara Israel dan Palestina dalam kenyataan. Menlu Mesir, Sameh Shoukry menyatakan:

Kita tidak bisa hanya terus berbicara tentang solusi dua negara saja, tetapi komunitas internasional dan DK PBB membutuhkan sumber-sumber daya dan instrumen yang perlu untuk menggelar konsensus internasional yang sudah diakui secara luas guna menghentikan konfliki ini. Itulah fondasi bagi solusi dua negara, hidup secara berdampingan dalam perdamaian dan keamanan”.

Sekarang, dengan upaya dan pengekangan diri dari banyak pihak, konflik di Jalur Gaza tetap sedang dikontrol dalam hal geografi. Namun, kalangan pakar mengkhawatirkan bahwa apabila konflik berlangsung lama, lingkungan keamanan yang tipis di Timur Tengah akan rusak. Pada saat itu, dampak negatif terhadap dunia akan lebih besar karena Timur Tengah merupakan tempat produksi 35% jumlah volume minyak ekspor dan 14% jumlah volume gas bakar ekspor dari dunia.

Komentar

Yang lain