(VOVworld) - Benar seperti peringatan yang dikeluarkan oleh para analis politik sebelumnya, keputusan apapun yang membuat Perdana Menteri Yingluck Shinawatra harus melepaskan kekuasaan akan menyulut sumbu ledak bagi eskalasi ketegangan dan instabilitas politik di Thailand. Kenyataan selama beberapa hari ini di Thailand telah menunjukkan hal ini. Meledaknya kekerasan sedang membuat arena politik Thailand menjadi terhuyung-huyung, mengancam merusak pemilu yang direncanakan akan diselenggarakan pada 20 Juli mendatang.
Ratusan demonstran telah mengepung satu pangkalan militer
– tempat dimana penjabat Perdana Menteri Niwatthamrong Boonsongphaisan sedang rapat,
(Foto: hanoimoi.com.vn)
Bentrokan meledak.
Dalam satu gerak-gerik yang dianggap meningkatkan ketegangan, Mahkamah Konstitusi Thailand pada Kamis (15 Mei) telah mengesahkan perintah menangkap lagi 30 pemimpin kekuatan demonstran anti Pemerintah atau disebut sebagai Komite Reformasi Demokrasi Rakyat (PDRC) karena tuduhan-tuduhan menghasut massa rakyat melakukan kerusuhan. Pemimpin PDRC, Suthep Thaugsuban dengan segera menyatakan: Pada Jumat (16 Mei) jika Majelis Tinggi Thailand tidak mengangkat satu pemerintah sementara untuk mengganti pemerintah sekarang, maka kekuatan ini akan “merebut kekuasaan” dan membentuk “dewan rakyat” untuk menyelenggarakan Tanah Air.
Sebelumnya, ratusan demonstran telah mengepung satu pangkalan militer – tempat penjabat Perdana Menteri Niwatthamrong Boonsongphaisan sedang rapat, sehingga membuat dia untuk sementara meninggalkan sidang. Satu serangan dengan senapan dan granat juga telah terjadi antara kekuatan pro dan anti Pemerintah, sehingga menewaskan 3 orang dan mencederai 22 orang yang lain. Dalam menghadapi situasi ini, Sekretaris Jenderal Komite Pemilu Thailand (EC), Puchong Nutrawong berseru menunda pemilu pada 20 Juli mendatang.
Perselisihan dan perpecahan.
Kunci masalahnya ialah pada saat Pemerintah sementara menyatakan satu pemilu akan merupakan cara yang paling baik untuk mengatasi krisis, menghindari bahaya perang saudara, maka kekuatan demonstran anti Pemerintah atau disebutkan sebagai Komite Reformasi Demokrasi Rakyat (PDRC) yang dikepalai oleh mantan Deputi Perdana Menteri Suthep Thaugsuban dengan keras menuntut memecat semua unsur Pemerintah infungsi dan beranggapan bahwa Pemerintah pimpinan Partai Pue Thai kehilangan legalitasinya dan menuntut untuk mengangkat seorang Perdana Menteri tanpa menyelenggarakan pemilu.
Meskipun mengakui Perdana Menteri demisioner Yingluck Shinawatra yang dibebas-tugaskan oleh Mahkamah Konstitusi Thailand sebagai kemenangan pertama dalam rencana menyingkirkan sepenuhnya apa yang dinamakan sebagai “rezim Thaksin” di area politik Thailand, namun bagi kekuatan demonstran anti Pemerintah, hal ini tetap belum cukup karena Partai Pue Thai pimpinan Yingluck Shinawatra sekarang tetap memimpin Pemerintah demisioner dan terus menggelarkan rencana menyelenggarakan pemilu pada 20 Juli mendatang.
Sementara itu, para pendukung Pemerintah menuduh bahwa sekarang ada satu intrik dengan ikutsertanya kekuatan anti Pemerintah yang dikepalai oleh mantan Deputi Perdana Menteri Shuthep Thaugsuban bersama dengan beberapa partai politik dan organisasi independen yang bertujuan menghapuskan institusi demokrasi dan menentang pemilu habis-habisan. Partai Pue Thai menggugat cara yang dilakukan oleh kekuatan ini selama bertahun-tahun ini ialah menggunakan semua siasat untuk membubarkan partai-partai politik dulu seperti Partai orang Thailand mencintai orang Thailand, Partai Kekuatan Rakyat dan sekarang ialah Partai Pue Thai dengan titik beratnya menyasar pada para Perdana Menteri dari tiga Partai ini. Tujuan terakhir ialah merintangi pemilu yang direncanakan bertujuan mencari kesempatan untuk terbentuknya satu Perdana Menteri tanpa menyelenggarakan pemilu.
Tuduhan-tuduhan dari Partai Pue Thai juga mendapat dukungan Front Demokrasi anti kediktaturan (UDD atau disebutkan sebagai para orang Kaos Merah), sekutu tradisional selama kira-kira 10 tahun ini pimpinan Thaksin. Segera setelah Perdana Menteri Ibu Yingluck Shinawatra dibebas-tugaskan, kekuatan ini telah menyatakan tidak menaati keputusan Mahkamah dan berduyun-duyun datang ke ibukota Bangkok untuk menentangnya. Yang lebih mencemaskan ialah beberapa organisasi sosial di daerah Timur Laut-tempat yang disebukan sebagai “pangkalan” Kaos Merah juga menyatakan sikap keras dan mengancam akan mengerahkan kekuatan masuk ke ibukota Bangkok untuk melakukan front pertempuran terakhir.
Krisis baru, tapi skenarionya lama.
Satu pemilu, meskipun diselenggrakan pada 20 Juli mendatang atau pada kapanpun, juga sulit bisa berlangsung ketika kekuatan demonstran anti Pemerintah pernah menyatakan akan merintangi pemilu manapun. Hal ini telah terjadi terhadap pemilu pada 2 Februari lalu, ketika para demonstran memblokade banyak daerah pemilihan, merintangi para calon datang mendaftarkan nama dalam kampanye pemilu dan membuat banyak tempat pemungutan suara harus ditutup.
Perkembangan-perkembangan sekarang menunjukkan bahwa situasi Thailand terus menjadi rumit, sulit diprakirakan dan sangat eksplosif, jika semua pihak tidak mengekang diri secara maksimal. Sumbu ledak bisa merupakan bentrokan-bentrokan antara dua kekuatan demonstran yang punya perbedaan pandangan, sehingga mengakibatkan pertumpahan darah, bisa terjadi perang saudara. Saat ini belum tampak ada solusi manapun untuk melepas sumbu ledak ketegangan di Thailand. Kalangan analis merasa cemas, skenario tentara akan ikut serta ketika Panglima Angkatan Darat negara ini pada Kamis (15 Mei) memperingatkan: “Jika kekerasan terus berlangsung, tentara bisa perlu berada untuk memulihkan perdamaian dan ketertiban. Tentara bisa menggunakan kekerasan untuk menangani situasi”. Jika begitu, perpolitikan Thailand diprakirakan akan harus menghadapi satu masa depan instabilitas yang mendalam, berpengaruh negatif terhadap pengembangan sosial-ekonomi di negeri pagoda emas ini./.