Laut Timur pada tahun 2016 setelah vonis PCA

(VOVworld) – Laut Timur terus merupakan tema yang panas  dalam agenda kawasan dan menjadi perhatian dari komunitas internasional pada tahun 2016, khususnya setelah Mahkamah Arbitrase Internasional (PCA) yang dibentuk menurut Apendiks 7 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut mengeluarkan vonis tentang gugatan yang dilakukan oleh Filipina terhadap Tiongkok yang bersangkutan dengan masalah Laut Timur. Vonis ini mengandung arti hukum dan politik besar, karena ini untuk pertama kalinya diesahkan oleh mahkamah internasional, mencerminkan satu tertib regional baru, di dalamnya semangat supremasi  hukum dijunjung tinggi. 


Laut Timur pada tahun 2016 setelah vonis PCA - ảnh 1
PCA mengeluarkan vonis tentang gugatan Filipina terhadap Tiongkok
(Foto: PCA-vovworld.vn)

Dalam vonis setebal hampir 500 halaman, PCA menyatakan bahwa tuntutan tentang “garis lidah sapi” yang dikeluarkan oleh Tiongkok tidak punya dasar hukum dan menolak “kedaulatan sejarah” Tiongkok di Laut Timur. Masalah yang penting ialah vonis ini telah menetapkan secara jelas semua pulau buatan yang sedang direklamasikan dan dibangun oleh Tiongkok di dangkalan dan terumbu karang yang diduduki secara ilegal tidak bisa dianggap sebagai maujud yang punya Zona Ekonomi Eksklusif (EEZ) 200 mil laut dan wilayah laut 12 mil laut.

Vonis  PCA merupakan satu vonis internasional yang pertama, resmi dan berdasarkan pada Hukum Laut dari PBB. Para pakar tentang laut maupun pakar urusan hubungan internasional menilai bahwa vonis ini dilaksanakan atau tidak,  tidak sepenting dengan masalah klaim Tiongkok terhadap hampir seluruh Laut Timur dalam batas dari apa yang dinamakan oleh Tiongkok sebagai “sembilan garis putus-putus” yang dinyatakan oleh Tiongkok secara tanpa dasar pada tahun 1947, adalah sepenuhnya ilegal. PCA bisa membuka jalan bagi satu solusi yang jangka-panjang atas pemecahan sengketa di Laut Timur.


Menyerap perhatian dari opini umum internasional

Segera setelah vonis PCA, banyak negara di dalam dan luar kawasan telah mengeluarkan imbauan kepada semua pihak supaya menaati vonis ini. Negara-negara ini menekankan nilai hukum dari vonis tersebut, mendukung kebebasan maritim dan penerbangan maupun perdagangan yang tidak dihalangi  berdasarkan pada prinsip hukum internasional yang dicerminkan secara khusus dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS). Komunitas internasional menyatakan bahwa semua pihak supaya memecahkan sengketa melalui langkah damai tidak boleh menggunakan atau mengancam menggunakan kekerasan, mengekang  semua aktivitas yang bisa merumitkan situasi atau mengeskalasikan sengketa yang berpengaruh terhadap perdamaian dan kestabilan. Semua lini pengangkutan lewat Laut Timur memainkan peranan teramat penting terhadap perdamaian, kestabilan, kemakmuran dan perkembangan. Komunitas internasional mendesak semua pihak memanifestasikan penghormatan semaksimal mungkin terhadap UNCLOS, konvensi yang menciptakan ketertiban hukum internasional  terhadap semua kawasan  laut dan samudera, mendukung dipertahankannya satu ketertiban yang berdasarkan pada hukum, mempertahankan dan membela semua hak dan hak istimewa semua negara.

Bisa dilihat bahwa setelah vonis ini, masalah Laut Timur telah melampaui perhatian dari negara-negara yang punya klaim, tapi telah menjadi perhatian yang luas dari negara-negara di luar kawasan, bahkan telah menjadi salah satu masalah persaingan strategis antara negara-negara adi kuasa di Asia-Pasifik. Masalah Laut Timur juga muncul dan menjadi tema penting dalam agenda berbagai forum dan mekanisme kerjasama multilateral seperti G-7, APEC dan lain-lain.


Meningkatkan aktivitas-aktivitas militer di kawasan

Vonis PCA telah mendatangkan penyesuaian kebijakan dari negara-negara adi kuasa. Paro kedua tahun 2016 menyaksikan latihan-latihan perang secara terus-menerus di kawasan ini. Walaupun mendapat celaan dari komunitas internasional, tapi Tiongkok tetap berkaok-kaok menyatakan tidak menghentikan pembangunan pulau buatan di Laut Timur, bersamaan itu melakukan serentetan latihan perang, khususnya dua latihan perang “patroli tempur” di  wilayah udara kepulauan Truong Sa (Spratly)  dan dangkalan Scarborough, dua kawasan yang diungkapkan dalam vonis PCA yang  isinya menegasi apa yang dinamakan oleh Tiongkok sebagai “kedaulatan sejarah”. Dalam pada itu, Amerika Serikat (AS) juga menggelarkan kekuatan besar-besaran ke Laut Timur yang meliputi kapal induk, kapal destroyer  beserta angkatan laut dan angkatan udara, berkoordinasi melakukan latihan perang dengan Jepang, India dan para sekutunya. Kapal-kapal destroyer AS senantiasa melakukan patroli dan bergerak di dekat berbagai pulau yang diduduki secara ilegal oleh Tiongkok di Laut Timur. Kalangan pengamat menilai bahwa pada tahun 2016, Laut Timur adalah tempat di mana negara-negara memusatkan paling banyak angkatan bersenjata pasca perang Vietnam pada tahun 1975.

Dalam kenyataannya, masih memerlukan banyak waktu pasca PCA agar situasi kawasan  menjadi stabil kembali. Akan tetapi, vonis ini telah menciptakan kesempatan kepada semua pihak untuk duduk bersama, menurunkan  suhu ketegangan. Mempertahankan perdamaian dan kestabilan di Laut Timur memainkan peranan penting untuk kemakmuran kawasan Asia-Pasifik, jadi tidak untuk satu negara manapun. Penghormatan terhadap Konvensi PBB tentang Hukum Laut merupakan kepentingan dari semua pihak. Vonis ini bisa memberikan satu fundasi untuk memecahkan masalah-masalah jangka-panjang dan rumit di Laut Timur.  


Komentar

Yang lain