Pemilu-pemilu di Eropa bisa menetapkan hari depan blok

(VOVworld) – Hasil babak pertama pilpres Perancis telah berakhir pada Senin (24/4) dengan hasil yang dicapai oleh para capres yang mewakili dua partai oposisi di Perancis. Bersama dengan pemilu-pemilu di Belanda, Jerman dan Italia, ini merupakan pemilu yang dinilai punya arti  penting, bisa meregenerasikan atau merusak konektivitas di “kontinen tua ini”. 


Pemilu-pemilu di Eropa bisa menetapkan hari depan blok - ảnh 1
Dua capres Perancis, Emmanuel Macron dan Marine Le Pene
(Foto: vovworld.vn)

“Bayangan hantu” krisis keuangan masih mengobsesi Eropa, pengangguran meningkat, gelombang migran  besar-besaran menimbulkan banyak kekacauan dan destabilitas di kalangan masyarakat. Semua hal ini telah dan sedang membuat pẩ pemilih di negara-negara Eropa merasa tidak puas terhadap situasi sekarang ini dan mendorong dukungan kepada partai-partai populis baru. Oleh karena itu, pemilu-pemilu di Eropa pada tahun ini dinilai sebagai “pertempuran-pertempuran” yang sengit.


Apa yang bisa dilihat dari kartu-kartu  suara dari pemilih?

Walaupun hasil putaran pertama pilpres  Perancis mencatat kemenangan yang dicapai oleh  Emmanuel Macron, wakil dari partai moderat dengan jumlah suara sebanyak 23,82%,  sedikit lebih banyak  terbanding dengan  Marine Le Pen, pemimpin partai ekstrim kanan dengan 21,58% jumlah suara, akan tetapi, tidak ada  yang bisa memastikan bahwa  Marine Le Pen akan tidak  memelopori babak pemungutan suara kedua yang akan berlangsung pada 7 Mei mendatang. Menurut para pengamat, kesempatan untuk kedua capres ini hampir-hampir sama.

Emmanuel Macron dengan terbuka mendukung Uni Eropa (EU) dan proses globalisasi. Kalau dia mencapai kemenangan, Uni Eropa akan direformasikan dan Eropa berkesempatan mengalami pemulihan. Sedangkan, capres yang mengikuti kebijakan ekstrim kanan, Marine Le Pen dalam pernyataannya di depan kampanye pemilihan telah berkomitmen akan mengadakan satu referendum mengenai keluarnya Perancis dari Uni Eropa (Frexit) kalau terpilih. Dia juga berjanjir akan memperketat imigrasi, “memulihkan kedaulatan nasional  tentang moneter, ekonomi, legislatif dan wilayah”. Perancis adalah perekonomian yang besarnya nomor dua di Eurozone dan besarnya nomor tujuh di dunia. Perancis juga adalah satu pendiri Uni Eropa bersama dengan Jerman dan adalah satu lokomotif ekonomi dari blok ini. Hasil babak pertama pilpres  Perancis, dengan jumlah suara yang tidak jauh selisihnya antara dua capres dianggap sebagai indikasi bahwa  populisme sedang bangkit.

Sebelumnya, di Italia, kekalahan yang dialami oleh mantan Perdana Menteri Matteo Renzi dalam referendum tentang reformasi Undang-Undang Dasar telah menunjukkan taraf ketidak-puasan dari pemilih negara ini. Hal yang membuat Italia berbeda dengan negara-negara lain ialah negara ini tidak hanya ada satu-satunya, tapi ada dua partai politik oposisi utama yang menentang mata uang euro dan ada satu partai ketiga yang semakin berkecenderungan seperti itu. Sekarang ini, Italia sedang menunggu satu pemilu lebih cepat pada tahun ini, berarti membuka kesempatan kepada partai ekstrim kanan yang punya pandangan menyangsikan Eropa masuk ke gelanggang politik Italia, perekonomian yang besarnya nomor 3 di Eurozone, adalah matarantai yang penting bagi pertumbuhan Eropa. Kalau Italia terperangkap ke dalam destabilitas, hal ini akan menimbulkan pengaruh jelek terhadap perekonomian seluruh kawasan.

Sedangkan, di Belanda, walaupun partai “Rakyat demi kebebasan dan demokrasi” (VVD), pimpinan Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte mencapai kemenangan dalam pemilihan Majelis Rendah pada 15 Maret lalu, tapi pemerintah baru harus menghadapi tidak sedikit tantangan ketika perpecahan sedang semakin menjadi besar. Walaupun menjadi pelopor, tapi Partai VVD kehilangan 9 kursis terbanding dengan 41 kursi di parlemen sekarang. Sedangkan, kalau terbanding dengan angka 12 kursi di parlemen sekarang ini, berhasilnya merebut 19 kursi dalam pemilihan  telah merupakan kemenangan permulaan yang dicapai oleh partai ekstrim kanan PVV. Hal itu juga memperlihatkan bahwa tertib politik di Eropa mulai mengalami perubahan.

Dalam pada itu, pemilu di Jerman menjanjikan tidak ada hal yang dramatis ketika Kanselir Angela Merkel hingga kini masih merupakan politikus yang paling berkuasa di Eropa dengan prosentase pendukung sampai 60%. Dia diprakirakan akan menjadi satu calon yang prospektif untuk merebut satu masa bakti sebagai Kanselir selanjutnya, walaupun partai oposisi menentang kuat cara yang dilakukan oleh Angela Merkel dalam memecahkan krisis migran, mungkin untuk pertama kalinya partai ini merebut kursi di Majelis Rendah.


Hari depan Eropa setelah pemilu-pemilu

Pada latar belakang Eropa tetap harus menghadapi tantangan-tantangan ketika taraf pertumbuhan ekonomi rendah, prosentase pengangguran tinggi, ketidak-adilan di kalangan masyarat belum bisa dipecahkan, gelombang migran  besar-besaran sehingga mendatangkan masalah-masalah keamanan dan sosial, semuanya ini akan menjadi lahan yang subur untuk meningkatkan psikologi ketidak-puasan terhadap pemerintah-pemerintah. Psikologi yang tidak aman, masalah-masalah mendesak tentang kepentingan ekonomi dan rasa takut ditinggal di belakang telah membuat warga negara-negara tidak meletakkan kepecayaan pada kalangan elit politik melalui kartu suaranya. Meninjau kembali rangkaian peristiwa pemilu  baru-baru ini, bahaya populisme di Eropa belum bisa disingkirkan. Tidak bisa menegasi satu kenyataan ialah dari Austria sampai Belanda, Italia dan Perancis, semua partai kecil sedang berangsur-angsur menjadi kuat dengan slogan-slogan yang mengarah pada warga dan mendapat dukungan dari warga.

Setelah keluarnya  Inggris  dari Uni Eropa,  reformasi Undang-Undang Dasar yang gagal di Italia dan pemilihan pendahuluan di Perancis, sekarang ini, orang sedang mengungkapkan satu konsep baru dengan nama “Musim semi patriotik”. Tampak masih terlalu dini untuk berbicara tentang kecenderungan ini, tapi pastilah bahwa  ketika keindahan luar dari globalisasi tetap lewat, kalau suara warga tidak didengarkan, kebutuhan mereka tidak dihormati dan kalu mereka ditinggalkan di pinggir masyarakat, maka gerakan-gerakan populis baru bisa muncul. Sudah barang tentu, yang akan menyusulnya ialah akibat-akibat yang sulit diduga terhadap geo-politik global.  ANH HUYEN

Komentar

Yang lain