Konferensi Tingkat Tinggi: perpecahan di sekitar masalah menangani krisis di Ukraina

(VOVworld) – Bagaimana Uni Eropa melakukan langkah-langkah berikutnya untuk menghadapi bentrokan yang semakin memanas di Ukraina? Adakah perpanjangan sanksi 6 bulan lagi terhadap Rusia, atau perlukah Uni Eropa memberikan bantuan militer maksimal kepada Ukraina?, dll merupakan masalah-masalah besar yang diungkapkan dalam Konferensi Tingkat Tinggi Uni Eropa yang dibuka pada Kamis (19 Maret) di Brussels, ibukota Belgia. Konferensi kali ini dianggap sebagai satu ujian bagi persatuan dan kesatuan Uni Eropa dalam menangani masalah krisis di Ukraina.

Konferensi Tingkat Tinggi: perpecahan di sekitar masalah menangani krisis di Ukraina - ảnh 1
Banyak masalah yang akan dibahas dalam konferensi ini
(Foto: tienphong.vn)

Di samping masalah-masalah internal seperti proses reformasi Yunani, masa depan perkembangan Eurogroup, dll, satu isi penting lain yang diajukan pada perbahasan dalam konferensi ini ialah masalah Ukraina dan bagaimana caranya untuk menghadapi Moskwa. Setahun lebih telah lewat, semua solusi dan opsi penanganan tetap mengalami jalan buntu, tidak ada jalan keluar dan perang di Ukraina sedang semakin mengalami perkembangan-perkembangan yang rumit, berbahaya dan lebih patut dicemaskan lagi. Yang ada sekarang tetap putaran berliku-liku dari perundingan, gencatan senjata, kemudian pelanggaran gencatan senjata. Yang patut diperhatikan ialah cara pendekatan yang keras, embargo, sanksi dan balasan terhadap Rusia tidak lagi menjadi unggul dan sedang menimbulkan perpecahan yang mendalam antar-negara anggota Uni Eropa.


Perbedaan pandangan

Berbagai perdebatan tentang bagaimana Barat harus bertindak untuk menghadapi bentrokan di Ukraina yang sedang semakin memanas? Banyak kontradiksi dan perpecahan antar-negara Uni Eropa dalam politiknya terhadap Rusia dan cara pendekatan untuk menangani krisis di Ukraina Timur mulai tersingkap.

Menjelang Konferensi Tingkat Tinggi Uni Eropa sudah ada sedikitnya 7 negara Uni Eropa yang terdiri dari Republik Siprus, Italia, Yunani, Hungaria, Slovakia, Austria dan Spanyol menentang perpanjangan sanksi terhadap Rusia dan siap memveto semua resolusi sanksi yang dikeluarkan. Yang patut diperhatikan ialah Perancis, Italia dan Spanyol juga menyatakan secara jelas bahwa mereka tidak ingin menghancurkan permufakatan gencatan senjata yang sudah amat tipis. Sementara itu, Kerajaan Inggeris juga bersama dengan beberapa negara di daerah Baltik dan Eropa Utara menyatakan pandangannya yang keras yaitu ingin terus mempertahankan sanksi, serta berpendapat bahwa sanksi akan membuat Moskwa punya tanggung jawab yang lebih mengikat lagi terhadap semua permufakatan gencatan senjata di Ukraina Timur. Sampai saat ini, baru ada Jerman yang berdiri di posisi sebagai mediator antara dua kubu dalam Uni Eropa tentang masalah sanksi terhadap Rusia ketika memberikan prioritas-prioritas “bentrokan satu sama lain”, yang menunjukkan sikap keras terhadap  Rusia sekaligus  ingin mempertahankan persatuan  Eropa.

Menurut ketentuan Uni Eropa, soal memperpanjang sanksi terhadap Rusia dalam waktu 6 bulan lagi memerlukan ada dukungan dari ke duapuluh delapan negara anggotanya. Namun, pandangan yang saling bertentangan telah memojokkan Uni Eropa pada posisi pasif dan terpecah-belah. Bisa dilihat bahwa pimpinan negara-negara Uni Eropa belum pernah menunjukkan perselisihan  seperti sekarang ketika berusaha menggariskan satu strategi berjangka panjang  untuk  menangani  titik panas  di Ukraina Timur.

 
Sanksi tidak bisa  memecahkan masalah sampai ke akar-akarnya.

Setelah Rusia menggabungkan Krimea setahun lalu, Eropa telah menghentikan perundingan-perundingan tentang perdagangan dan visa dengan Rusia, bersamaan itu memasukkan banyak politisi dan komandan tentara Rusia ke dalam daftar membekukan harta benda dan membatasi mobilitas. Pada Januari lalu, sanksi-sanksi ini diperpanjang 6 bulan lagi dan sanksi-sanksi ini dijadwalkan akan tidak efektif lagi pada Juli mendatang. Pada kenyataannya, selama setahun ini, sanksi-sanksi terhadap Rusia sedikitnya telah berpengaruh negatif terhadap perekonomian Rusia. Namun, tidak hanya Rusia, melaikan juga negara-negara Uni Eropa juga mengalami kerugian yang tidak sedikit. Tapi, masalah krisis di Ukraina  tetap belum ada jalan ke luar dan belum sampai ke satu solusi terakhir. Para pakar Amerika Serikat baru-baru ini juga mengakui bahwa sanksi terhadap Rusia tidak memberikan hasil-guna dan sudah sampai waktunya sebaiknya membahas lagi  hasil-guna dari sanksi-sanksi ini. Isolasi-nya terhadap Rusia bertentangan dengan sifat konstruktif sekaligus juga menimbulkan kerugian  terhadap fihak yang menjatuhkan sanksi. Semakin ada banyak negara Uni Eropa yang mendukung pandangan ini. Kalau ditinjau pada gerak-gerik diplomasi pada masa belakangan ini yang menunjukkan bahwa  daftar tamu yang mengunjungi Istana Kremlin pada waktu belakangan ini dan pada waktu mendatang, bersama dengan tentangan terhadap masalah memperpanjang sanksi terhadap Rusia  merupakan bukti tentang naiknya kepercayaan negara-negara ini terhadap Rusia.

Pada Februari lalu, Presiden Republik Cyprus Nicos Anastasiades telah mengunjungi Rusia dan menyerahkan hak bisa masuk ke semua pelabuhan di negara kepulauan ini kepada Angkatan Laut Rusia. Pada Maret ini, Istana Kremlin telah menyambut Perdana Menteri Italia, Matteo Renzi dan Presiden Vladimir Putin telah menyebutkan Renzi sebagai “mitra yang diprioritaskan”. Menurut rencana, Perdana Menteri Yunani, Alexis Tsipras akan  menjadi tamu Eropa berikutnya dari Presiden Vladimir Putin dalam kunjungan ke Moskwa yang akan berlangsung pada April  nanti.

Pada latar belakang perpecahan sekarang ini, apakah Uni Eropa bisa mengusahakan suara bersama untuk memanifestasikan persatuan dan kesatuan dalam kebijakan terhadap Rusia. Menurut para analis, kemungkinan paling besar di Konferensi kali ini yalah negara-negara ini akan tidak sepakat memperpanjang  sanksi dan menunda dikeluarkannya keputusan sampai saat sanksi akan tidak efektif lagi pada Juni 2015. Dan apabila ditunda, hanya tinggal beberapa bulan lagi, Uni Eropa harus mengeluarkan keputusan terakhir. Jawaban-nya tetap sedang diusahakan oleh para pemimpin negara-negara Uni Eropa./.


Komentar

Yang lain