Kunjungan yang penuh dengan tantangan

(VOVworld) – Setelah kunjungan di tiga negara Eropa, pada Jumat (27 Maret), Presiden Amerika Serikat (AS) akan melakukan kunjungan di Arab Saudi - negara Islam yang sudah menggalang hubungan diplomatik dengan AS selama 70 tahun ini. Untuk kali kedua melakukan kunjungan di Timur Tengah sejak tahun 2009, Presiden AS, Barack Obama  mau menghangatkan  kembali hubungan yang pernah mengalami prahara antara dua negara. Akan tetapi, untuk bisa mencapai tujuan ini, kepala Gedung Putih harus mengatasi tantangan-tantangan yang tidak kecil. 

Kunjungan yang penuh dengan tantangan - ảnh 1
Presiden AS, Barack Obama melakukan kunjungan di Arab Saudi pada tahun 2009
(Foto: Mido Ahmed/AFP/Getty Images)



Dalam kunjungan  di negara sekutu lama Arab Saudi, Presiden AS berfokus berbahas tentang masalah- masalah keamanan di kawasan, diantaranya ada perang saudara Suriah dan perundingan internasional tentang program nuklir Iran. Presiden Barack Obama juga akan melakukan pertemuan dengan para pemimpin Dewan Kerjasama Teluk (GCC) di kantor organisasi ini di Riyadh.

Kontradiksi yang bertumpuk-tumpuk

Menjelang kunjungan tersebut, juru bicara Gedung Putih, Jay Carney menegaskan bahwa Arab Saudi adalah satu mitra yang dekat dengan AS. Meskipun  dua negara  mengalami perselisihan, akan tetapi hal itu tidak bisa mengubah kenyataan tentang hubungan antara dua fihak yang  penting dan akrab. Pidato juru bicara Gedung Putih tampaknya menenangkan opini umum, ketika pada kenyataan-nya  hubungan antara AS dan Arab Saudi pada beberapa tahun ini mengalami pemberantakan, kalau tidak ingin  berbicara paling buruk dalam sejarah penggalangan hubungan diplomatik antara dua negara selama 70 tahun ini. Hubungan sekutu yang lama antara AS dan Arab Saudi menjadi tegang sejak awal tahun 2011 yang bersangkutan dengan serentetan instabilitas di Timur Tengah dan Afrika Utara. Manifestasi yang jelas yalah Arab Saudi selalu mencemaskan cara penanganan Pemerintah AS terhadap serentetan masalah sensitif di kawasan, misalnya masalah Iran, Suriah dan Mesir.

Pada tahun lalu, Pangeran Arab Saudi, Turki al-Faksal telah mencela keras kebijakan AS tentang Timur Tengah. Celaan ini sebagian besar berfokus pada kebijakan Presiden Barack Obama tentang masalah Suriah dan perundingan tentang masalah nuklir dari Iran. Oleh karena itu, kalangan pengamat beranggapan bahwa dalam kunjungan yang dilakukan Presiden AS Barack Obama, ada banyak kemungkinan Arab Saudi akan terus terbuka mengungkapkan perihal AS tidak tegas melimpahkan tanggung jawab kepada Pemerintah pimpinan Presiden Bashar al Assad tentang apa yang dinamakan anti penduduk Suriah, khususnya ketika AS secara mendadak mengubah keputusan tidak melakukan serangan militer terhadap Suriah pada musim Panas tahun 2013.

Arab Saudi juga akan mengungkapkan dukungan Washington terhadap gerakan Ikhwanul Muslimin  di Mesir. Ini merupakan masalah penting pada latar belakang Arab Saudi akhir-akhir ini telah menarik  Duta Besarnuya di Qatar ke Tanah Air untuk memprotes Qatar terus mendukung gerakan Ikhwanul Muslimin. Ditambah lagi, sikap luwes AS dan Barat terhadap Iran telah menimbulkan banyak kecemasan terhadap Arab Saudi dan negara-negara Teluk. Arab Saudi tidak hanya merasa cemas akan ambisi memiliki nuklir Teheran saja, melainkan juga dukungan kuat Iran terhadap Pemerintah pimpinan Presiden Suriah, Bashar al- Assad. Arab Saudi dan banyak negara Teluk beranggapan bahwa Iran sedang menimbulkan instabilitas terhadap kawasan, bertentangan dengan pandangan AS. Satu kesulitan lain dihadapi Presiden Barack Obama lagi  ketika berkunjung di Timur Tengah kali ini yalah Arab Saudi tampaknya sedang mengusahakan kerjasama baru dari negara-negara Asia, sebagai pengganti terlalu mementingkan AS selama ini. Buktinya yalah Pangeran Arab Saudi, Salman baru saja melakukan kunjungan tingkat tinggi di serentetan negara, misalnya Pakistan, India, Tiongkok dan Jepang

Meredakan sekutu

Justru kalangan politisi AS yang mengerti sangat jelas semua kontradiksi yang sedang merintangi  hubungan antara dua negara. Oleh karena itu, bukan kebetulan, menjelang kunjungan yang dilakukan Presiden AS, Barack Obama di Arab Saudi pada 18 Maret lalu, Washington telah meminta kepada Pemerintah Suriah supaya segera menutup pintu Kedutaan Besar–nya di Washington DC dan berbagai Konsulat di Michigan dan Texas. Semua personel bukan warga negara AS yang bekerja di kantor-kantor diplomasi ini  harus meninggalkan AS sebelum 31 Maret ini.

Pada 20 Maret, ketika berbicara dalam pertemuan dengan Deputi Menteri Pertahanan Arab, Pengeran Salman bin Sultan di Washington,  Menteri Pertahanan AS, Chuck Hagel telah menekankan peranan penting  hubungan kerjasama militer bilateral, bersamana itu menegaskan kembali komitmen Washington terhadap keamanan di kawasan Timur Tengah. Yang paling belakangan ini, tiga hari sebelum kunjungan tersebut, ketika menerima Putra Mahkota Emirat Abu Dhabi, Sheikh Mohamed bin Zayed, Presiden AS, Barack Obama menegaskan bahwa AS akan tidak membiarkan sekutu-sekutu lama di Teluk merasa tertinggal dibelakang. Tidak sulit mengerti ketika para pemimpin AS berupaya untuk meredakan Arab Saudi dan yang lebih mendalam yalah dengan negara-negara sekutu AS di daerah teluk. Sejarah memperlihatkan bahwa hubungan antara AS dan Arab Saudi merupakan hubungan demi kepentingan masing-masing fihak pada setiap saat.

Waktu  70 tahun  berjalan seperjalanan, jabatan tangan dengan AS telah mendatangkan kepada negara Islam Arab Saudi satu sponsor keamanan yang kuat. Sebaliknya, Washington juga melihat bahwa Riyadh adalah sumber pemasokan minyak tambang yang berlimpah-limpah dan satu pangkalan militer yang penting untuk mempertahankan dan memperluas peranan-nya di Timur Tengah. Oleh karena itu, dengan kepentingan-kepentingan umum dan pribadi, kalangan pengamat beranggapan bahwa kunjungan di Arab Saudi akan dimanfaatkan oleh Presiden AS, Barack Obama  untuk mengurangi semua prselisihan, walaupun memahami bahwa tantangan yang sedang dihadapi  tidak kecil./.

Komentar

Yang lain