Mengusahakan bantuan militer- langkah berbahaya yang dijalankan Perdana Menteri Irak, Nouri al-Maliki

(VOVworld) -  Perdana Menteri (PM) Irak, Nouri al-Maliki sedang melakukan kunjungan kerja di Amerika Serikat (AS) untuk mengusahakan bantuan militer pada latar belakang Irak sedang tenggelam dalam kekerasan. Apakah ini merupakan solusi bijaksana bagi Nouri al- Maliki  untuk memperkokoh kekuasaan dan membawa Tanah Air-nya lepas dari situasi sekarang ini? 

Mengusahakan bantuan militer- langkah  berbahaya yang dijalankan Perdana Menteri Irak, Nouri al-Maliki - ảnh 1
Wakil Presien AS, Joe Biden (kanan)  menerima PM Irak,  Nouri al-Maliki
di Wasgingtom pada 30 Oktober

( Foto: AFP )

Mengusahakan satu solusi  dengan dukungan sekutu

Ketika berbicara kepada kalangan pers sebelum berangkat menuju ke AS, PM Irak, Nouri al-Maliki menegaskan bahwa pasukan al-Qaeda sedang melakukan satu operasi teror untuk menentang rakyat Irak dan dia  tidak menginginkan negaranya berubah menjadi pangkalan kaum teroris  ini. Oleh karena itu, semua bantuan militer yang diberikan AS, misalnya pesawat terbang, senjata dan peralatan militer adalah perlu untuk menentang terorisme dan menyapu bersih semua kelompok bersenjata. Dia akan mengajukan rekomendasi ini dalam pembicaraan dengan Presiden AS, Barack Obama.

Akan tetapi, keinginan PM Irak, Nouri al- Maliki telah segera menghadapi tentangan dari tidak sedikit senator AS. Para Senator yang kenamaan, diantaranya ada John McCain, Carl Levin, Robert Menendez dan Lindsey Graham telah mengirim surat kepada Presiden  Barack Obama  yang isinya mengatakan bahwa mereka sangat mencemaskan situasi yang sedang memburuk di Irak. Menurut para senator ini, justru kepemimpinan Nouri al-Maliki yang sedang menimbulkan perpecahan nasional di Irak, turut meningkatkan bentrokan ketika dia terlalu memperhatikan menjalankan tipe kepemimpinan yang otoritarian dan faksional ini, tidak membolehkan orang Sunni menikmati kepentingan-kepentingan, meremehkan orang Kurdi dan mengisolasikan orang Syiah yang menginginkan satu negara Irak yang demokratis. Oleh karena itu, menambahkan senjata kepada Irak tidka ubahnya menyiramkan tambahan minyak ke dalam api dan akan tidak bisa menangani  instabilitas di negara ini sekarang sampai keakar-akarnya.

  Memang benar, di Irak, bentrokan berdarah-darah semakin mencemaskan. Menurut Perutusan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Irak, dari awal 2013 sampai sekarang, ada kira-kira 6.000 penduduk sipil yang tewas dan 14.000 orang lain  luka-luka, akibat serangan bom  mobil dan serangan bom bunuh diri di negara ini. Angka ini sama dengan tarap rekor pada tahapan 2006-2007, ketika perang saudara di Irak sedang mencapai klimaksnya. Pada bulan Mei lalu, setiap hari, di Irak terjadi sedikit-dikitnya dua serangan yang menimbulkan korban. Bom meledak dimana-mana, termasuk di pasar, masjid, upacara pernikahan, upacara pemakaman di ibu kota Baghdad atau di daerah-daerah lain. Yang lebih mencemaskan yalah, justru kontradiksi antara pemerintah pimpinan PM Irak Nouri al-Maliki dimana orang Islam sekte Syiah menduduki keunggulan dan kelompok minoritas orang Sunni, sehingga banyak penduduk berbalik mendukung kelompok-kelompok bersenjata extrimis yang berhubungan dengan jaringan al-Qaeda.

 Sulit mendatangkan kestabilan politik

Menghadapi kenyataan tersebut, Pemerintah Irak telah melakukan operasi-operasi pembersihan berskala luas terhadap kaum pembangkang, memperkuat perekrutan serdadu baru untuk memperkokoh kekuatan anti jaringan al-Qaeda, menerapkan  perintah-perintah jam malam. Namun, hal ini belum cukup. Ini hanya merupakan langkah yang bersifat jangka pendek saja. Untuk bisa menghentikan kekerasan yang bereskalasi, Pemerintah Irak perlu menjalankan langkah-langkah yang lebih berjangka panjang, karena watak gelombang kekerasan di Irak sekarang yalah  sengketa- sengketa antar komunitas etnis yang pernah semakin menjadi serius pasca intervensi yang dilakukan AS pada tahun 2003. Semua perebutan dan pembagian kekuasaan tetap masih belum selesai dan hanya bisa ditanangi menanganinya dengan perundingan. Pada latar belakang ini, hal yang perlu  dilakukan oleh PM Irak, Nouri al-Maliki yalah berfokus memperbaiki posisi umat Muslim sekte Sunni dan mengusahakan pembagian kekuasaan antar-kelompok  etnis dan agama, alih- alih memperkuat perlengkapan senjata perang.

Kekerasan di Irak akibat instabilitas politik, kontradiksi kepentingan etnis. Untuk bisa menstabilkan situasi politik sekarang ini, menambah perlengkapan senjata merupakan obat yang berbahaya, hanya membuat negara di Timur Tengah ini bertambah kacau lagi. Jadi, tampaknya salah satu diantara tujuan-tujuan PM Irak, Nouri al-Maliki dalam kunjungan-nya  di Washington kali ini  tidak praksis dalam membantu Irak lepas dari pusaran kekerasan./.

Komentar

Yang lain