Di belakang jabatan tangan antara dua raksasa Asia

(VOVworld) – Perdana Menteri (PM) Tiongkok, Li Keqiang baru saja mengakhiri kunjungan 3 hari di negara tetangga India. Memilih India sebagai tempat persinggahan pertama dalam kunjungan di 4 negara setelah dilantik menjadi PM merupakan ide utama Beijing yang di satu segi bertujuan memperkuat perdagangan dan investasi dengan New Dehli, dan di segi lain untuk menegakkan kepercayaan politik dengan India setelah serentetan perselisihan baik pada masa lalu maupun pada masa kini yang bersangkutan dengan banyak masalah. Kalangan analis memberikan penilaian yang bertentangan dengan bahasa diplomatik yang-indah indah dan jabatan tangan kerjasama, hasil yang dicapai dalam kunjungan kerja ini adalah sangat tidak seberapa. 

Di belakang jabatan tangan antara dua raksasa Asia - ảnh 1
PM dua negara Tiongkok dan India
(Foto: vov.vn)

Di bawah sengatan terik matahari musim panas di kota New Dehli, PM negara tuan rumah Manmohan Singh menerima timpalannya dari Tiongkok Li Keqiang dengan protokol diplomatik paling tinggi yang diperuntukkan bagi seorang kepala negara. Sama seperti yang diumumkan media massa Beijing menjelang kunjungan ini, pada pertemuan dengan PM negara tuan rumah Manmohan Singh, PM Li Keqiang menegaskan bahwa kunjungan ini bertujuan menunjukkan kepada dunia akan kepercayaan politik satu sama lain antara India dan Tiongkok yang semakin meningkat, semua kerjasama praksis yang sedang diperluas dan dua pihak mempunyai lebih banyak kepentingan bersama dari pada perbedaan.

Pada pihaknya, PM Manmohan Singh juga menekankan bahwa tidak hanya mempunyai hubungan tetangga yang dekat saja, tapi India dan Tiongkok juga merupakan dua negara adi kuasa yang sedang berkembang dan telah menjadi mitra strategis dalam banyak masalah internasional. Oleh karena itu, tidak bisa membiarkan masalah yang masih ada antara dua negara berpengaruh terhadap perkembangan hubungan bilateral, khususnya di bidang perdagangan dan investasi. PM dua negara tersebut sepakat dan berkomitmen meningkatkan nilai perdagangan bilateral mencapai USD 100 miliar pada 2015 dan dengan penanda-tanganan 8 permufakatan kerjasama di bidang-bidang pertanian, perdagangan, pariwisata, dan sebagainya, Beijing dan New Dehli sedang bersama-sama membuktikan peranan lokomotifnya dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di kawasan dan di dunia.

Akan tetapi, bertindak tidak semudah berbicara. Walaupun Tiongkok menjadi mitra dagang terbesar bagi India, tapi defisit perdagangan yang semakin besar menjadi faktor yang meningkatkan perselisihan antara dua pihak. Bertolak hampir dari angka nol pada tahun-tahun 90-an, perdagangan bilateral Tiongkok – India sudah berangsur-angsur miring ke arah yang menguntungkan Tiongkok. Negara ini secara pada pokoknya mengekspor listrik dan peralatan tele-komunikasi ke India tapi tidak membuka pintu lebar-lebar bagi India di bidang-bidang ini untuk masuk pasar Tiongkok. Yang sulit ialah Tiongkok selalu mengingkari bahwa defisit perdagangan itu karena keterbatasan impor tapi melemparkan kesalahan pada ketidak-seimbangan ialah karena “perbedaan dalam struktur ekonomi dua negara”.

Sudah barang tentu New Dehli tidak pernah merasa puas dengan alasan ini. Oleh karena itu, walaupun menegaskan keinginannya ialah bersama dengan Tiongkok meningkatkan nilai perdagangan bilateral, tapi PM Manmohan Singh juga dengan terus-terang beranggapan bahwa untuk mencapai angka yang mengesankan USD 100 miliar pada 2015, maka hal yang penting ialah harus menemukan cara menyeimbangkan defisit perdagangan tersebut dan hal ini sebagian besarnya bergantung pada pihak Tiongkok.

Bersama dengan masalah defisit perdagangan, semua perselisihan tentang wilayah antara India dan Tiongkok yang dalam waktu panjang tidak bisa mengeluarkan solusi yang tuntas juga merupakan halangan bagi dua pihak untuk “membangun kepercayaan”. Kecurigaan antara dua negara sejak perang perbatasan pada 1962 tetap seperti api dalam sekam pada saat sebulan sebelum kunjungan ini, ketegangan dalam hubungan Beijing – New Dehli didorong naik ke klimasknya ketika India menuduh tentara Tiongkok melanggar wilayahnya di barisan gunung Himalaya Barat Laut. India memberikan balasan dengan cara mengerahkan pasukan besar-besaran ke wilayah ini dan ketegangan hanya berhenti sementara ketika dua pihak bermufakat akan mengusahakan solusi yang berjangka panjang dan menyeluruh bagi bentrokan perbatasan. Dalam kunjungan ini, masalah bentrokan perbatasan sekali lagi diletakkan di meja perbahasan, tapi juga tidak bisa mencapai hasil kongkrit manapun ketika PM Li Keqiang hanya mengeluarkan gagasan memperkuat mekanisme membangun kepercayaan di perbatasan sedang dipersengketakan secara garis besar saja, dan berpendapat bahwa semua rekomendasi untuk meredakan ketegangan “akan harus dipertimbangkan secara berjangka panjang oleh semua pihak”.

Sebelum PM Li Keqiang tiba di Beijing, Koran Reminrepao telah memuat satu komentar yang isinya mengatakan bahwa Tiongkok dan India telah setuju “memisahkan masalah perbatasan dari hubungan umum dan menjamin supaya perbedaan tidak berpengaruh terhadap perkembangan hubungan bilateral”. Tapi menurut penilaian para pakar, jika mengesampingkan masalah strategis dan hanya berfokus pada hubungan ekonomi, maka meledaknya bentrokan akan terus muncul. Pada latar belakang India sedang melakukan serentetan langkah untuk merebut posisi “pelopor” seperti menyesuaikan strategi militer dan diplomatik, memperkuat modernisasi militer, dll, maka bahaya “raksasa tetangga” tak mungkin dilupakan oleh Tiongkok. Ditambah lagi ialah India semakin dekat dengan Amerika Serikat dan tidak menunjukkan dukungannya kepada Tiongkok dalam masalah sengketa di Laut Timur. Hal-hal ini  juga merupakan sebab-musabab yang membuat hubungan Beijing- New Dehli tidak seperti yang dinanti-nantikan. Pada kenyataannya ialah dalam pembicaraan bilateral, PM India Manmohan Singh telah menolak mendukung pendirian Tiongkok tentang situasi pulau-pulau yang sedang dipersengketakan di Laut Timur.

Jelaslah, kunjungan yang dilakukan PM Tiongkok Li Keqiang di New Dehli kali ini dianggap sebagai bukti bagi hubungan tetangga yang sulit menjadi harmonis. Sebagai mitra yang sangat penting satu sama lain, tapi kurang adanya kepercayan strategis membuat dua negara tetangga di Asia sulit bisa saling mendekati. Oleh karena itu, jangan menantikan terobosan dalam hubungan dua negara pada waktu mendatang – hal yang telah dinilai kalangan analis./. 

Komentar

Yang lain