Inggris pasca pemilu Brexit “menjadi cerah” tapi belumlah segalanya

(VOVWORLD) - Dengan berhasil merebut 365 kursi  di antara 650 kursi di Majelis Rendah Inggris setelah pemilihan umum (pemilu) pada tanggal 12 Desember ini, Partai Konservatif pimpinan Perdana Menteri (PM) Inggris, Boris Johnson telah mencapai mayoritas yang diperlukan untuk membentuk pemerintah sendiri, bersamaan itu, menyebarkan jalan untuk melaksanakan proses membawa Inggris ke luar dari Uni Eropa (Brexit) secara tepat batas waktu baru yaitu tanggal 31 Januari 2020. Akan tetapi, itu belumlah segalanya.
Inggris pasca pemilu Brexit “menjadi cerah” tapi belumlah segalanya - ảnh 1Ilustrasi  (Foto: VNA) 

Jumlah kursi yang dicapai oleh Partai Konservatif (365 kursi) lebih banyak 39 kursi terbanding dengan jumlah kursi yang diperlukan menurut ketentuan untuk membentuk pemerintah baru tanpa perlu membuat persekutuan dengan kekuatan-kekuatan politik yang lain (326 kursi). Akan tetapi, yang lebih penting ialah, jumlah kursi ini menjamin satu posisi mayoritas di Majelis Rendah, membolehkan PM Boris Johnson dan Partai Konservatif melaksanakan rencana-rencananya yang ambisius, yang pertama ialah Brexit, “perceraian” keluar  dari Uni Eropa telah menjumpai sangat banyak rintangan selama dua tahun ini.

Melebarkan jalan untuk mengesahkan Brexit di Parlemen Inggris

Segera setelah hasil-hasil pemeriksaan suara yang menegaskan bahwa Partai Konservatif pasti mencapai mayoritas di Majelis Rendah, PM Boris Johnson menyatakan bahwa Brexit bukanl lagi merupakan  satu keputusan yang diperdebatkan dari warga Inggris.

Kita masih ingat, menjelang pemilihan umum pada tanggal 12 Desember ini, karena kehilangan mayoritas kursi di Majelis Rendah (setelah pemilu sebelum batas waktu pada bulan Juni 2017), Partai Konservatif pimpinan PM Boris Johnson telah mengalami kegagalan total dalam meyakinkan Parlemen Inggris meratifikasi permufakatan Brexit yang telah dicapai dengan Uni Eropa dan terpaksa meminta kepada Uni Eropa supaya memperpanjang Brexit sekali lagi  (kali ke-3). Sebelumnya, dengan alasan yang sama, pemerintah pimpinan PM wanita Theresa May (juga dari Partai Konservatif), bahkan menngalami sampai 3 kali kegagalan dalam upaya mengesahkan Brexit dengan Uni Eropa di Parlemen sehingga mendatangkan akibatnya ialah PM Theresa May harus meletakkan  jabatan. Menjelang pemilu pada tanggal 12 Desember ini, banyak analis menegaskan bahwa proses Brexit sedang berada dalam situasi”kemacetan total”.

Oleh karena itu, dengan perihal Partai Konservatif mencapai mayoritas dengan perbandingan 365/650 kursi di Parlemen, ada kemungkinan yang sangat tinggi ialah  permufakatan manapun tentang Brexit yang akan dicapai oleh Pemerintah Inggris dengan Uni Eropa pada waktu mendatang akan diesahkan. 

Rintangan dan tantangan

Kemenangan besar yang dicapai oleh Partai Konservatif juga merupakan satu hasil yang ditunggu-tunggu oleh kalangan pimpinan Uni Eropa. Masalahnya bukanlah Uni Eropa mendukung Partai Konservatif, tapi karena kemenangan yang dicapai oleh Partai Konservatif berarti bahwa prospek Brexit menjadi lebih jelas. Selain itu, Uni Eropa juga mengharapkan agar dengan kemenangan mayoritas mayoritas yang dicapai, PM Boris Johnson bisa mengungguli pikiran  skeptisisme Eropa. Ini dianggap sebagai satu kemudahan bagi PM Boris Johnson dalam proses melakukan perundingan tentang permufakatan Brexit baru dengan Uni Eropa.

Akan tetapi, hal itu tidak berarti bahwa proses Brexit pada tahun 2020 akan berlangsung secara sepenuhnya “lancar”. Karena Uni Eropa selalu menunjukkan pandangan bertekad tidak membiarkan Inggris mendekati pasar Uni Eropa secara mudah kalau PM Boris Johnson gigih menjalani rencana-rencana menyusun ketentuan-ketentuan perdagangan dan lingkungan yang jauh berbeda dengan ketentuan dan kriterium Uni Eropa sekarang.

Selain itu, ditinjau di segi waktu, PM Boris Johnson ingin mengakhiri perundingan dagang dengan Uni Eropa pada bulan November 2020 agar mulai dari tahun 2021, hubungan Inggris-Uni Eropa benar-benar memasuki satu halaman baru. Menurut banyak pakar dan kalangan otoritas Uni Eropa, perihal dua pihak mencapai permufakatan perdagangan bebas selama waktu belum sampai setahun merupakan hal yang tidak bisa. Oleh karena itu, London mengalami bahaya tidak mencapai permufakatan perdagangan bebas dengan Uni Eropa atau akan hanya mencapai satu permufakatan yang terbatas. Kalau skenario ini terjadi, kerumitan akan muncul dan menjadi satu tantangan sungguh-sungguh terhadap Brexit.

Di samping itu, kalangan analis juga menyatakan bahwa faksi penentang Brexit di Inggris akan tidak mudah meninggalkannya. Bukti terkini  ialah pada tanggal 14 Desember, Gubernur Skotlandia dari Kerajaan Inggris, Nicola Sturgeon memperingatkan bahwa PM Boris Johnson harus “memperhatikan kenyataan” dan mengakui bahwa Partai Nasional Skotlandia (SNP) telah mendapat mandat untuk melaksanakan satu referendum tentang kemerdekaan kali ke-2. Sangat dimungkinkan bahwa ini merupakan pertanda yang mengawali upaya-upaya baru dalam menentang proses Brexit yang sedang diusahakan oleh PM Boris Johnson dan Partai Konservatif.  

Komentar

Yang lain