Prospek Hubungan AS-Tiongkok dari Pertemuan Tingkat Tinggi secara Virtual

(VOVWORLD) - Presiden Amerika Serikat (AS), Joe Biden dan Presiden Tiongkok, Xi Jinping, Selasa pagi (16 November), waktu WIB, melakukan pertemuan tingkat tinggi secara virutal. Berlangsung pada latar belakang hubungan AS-Tiongkok tengah dalam konfrontasi yang sengit dalam serentetan masalah, pertemuan tersebut dinilai sulit menciptakan terobosan besar, namun merupakan langkah yang perlu untuk menciptakan stabilitas di masing-masing negara dan lingkungan perkembangan bersama.

Sebelum menjadi Presiden AS (Januari 2021), Joe Biden telah berulang kali menemui Xi Jinping. Namun,  selaku pemimpin AS, Joe Bidan baru dua kali melakukan pembahasan via telepon, tetapi belum pernah melakukan pertemuan dengan Presiden Tiongkok, Xi Jinping. Oleh karenanya, pertemuan tingkat tinggi AS-Tiongkok pada 16 November mendapat perhatian khusus dari kedua negara dan opini umum internasional.

 

Latar Belakang yang Penuh Tantangan

Pertemuan tingkat tinggi virtual antara Presiden Joe Biden dengan Presiden Xi Jinping berlangsung pada saat hubungan AS-Tiongkok dinilai tengah berada dalam taraf yang terendah selama beberapa dekade terakhir. Kemerosotan hubungan AS-Tiongkok dimulai dan berlangsung secara kuat pada tahap Presiden AS, Donald Trump memimpin AS. Ketika menjadi Presiden AS (Januari 2021), Joe Biden terus menganggap Tiongkok sebagai tantangan utama AS, bersamaan itu berupaya menghimpun koalisi untuk menghadapinya, yang paling jelas melalui kunjungan bersejarah di Eropa pada Juni silam.

Menjelang pertemuan tingkat tinggi tersebut, pada 13 November, Menteri Luar Negeri (Menlu) AS, Antony Blinken dan Menlu Tiongkok, Wang Yi telah dengan keras memperingatkan masing-masing pihak tentang salah satu tema yang paling dipersengketakan saat ini yakni masalah Taipei (Tiongkok). Sementara itu Menlu AS, Antony Blinken telah menunjukkan kekhawatiran AS tentang “tekanan militer, diplomatik dan ekonomi” yang dilaksanakan Tiongkok terhadap Taipei (Tiongkok). Sebagai tanggapannya, Menlu Wang Yi menunjukkan tindakan AS yang dianggap mendukung “kemerdekaan Taipei (Tiongkok) dan “sangat berbahaya”.

Dua pihak juga tengah berkonfrontasi secara tegang tentang banyak masalah lagi. Sementara itu Tiongkok telah memberikan reaksi keras tentang perihal AS yang membentuk aliansi AUKUS dengan dua sekutunya yakni Inggris dan Australia pada September lalu, maupun perihal AS memperkuat kontak dengan para mitra penting dalam stategi “Pivot to Asia”. Sementara itu sengketa dagang antara dua pihak yang sudah memakan waktu selama bertahun-tahun ini belum ada tanda-tanda turun suhu. Bersamaan itu ialah kisah hak asasi manusia dan kebebasan maritim di Samudera Hindia dan Pasifik.

Itu belum habis. Kedua pemimpin juga tengah menghadapi tekanan tentang masalah-masalah internal yang mendapat perhatian warga di dalam negeri. Bagi pemimpin AS ialah perlu menarik dukungan para pemilih yang mengikuti kebijakan keras terhadap Tiongkok dalam pemilihan Kongres di sela masa bakti 2022, yang lebih jauh ialah pemilihan presiden pada 2024. Sementara itu, bagi pemimpin Tiongkok, tekanannya ialah memanifestasikan citra seorang pemimpin yang kuat, tegas menjelang Kongres Nasional Partai Komunis Tiongkok pada tahun depan.

Jelaslah bahwa latar belakang yang istimewa ini merupakan tantangan besar terhadap prospek perbaikan hubungan AS-Tiongkok dalam jangka pendek.

 

Langkah Yang Perlu

Meskipun begitu, pertemuan tingkat tinggi AS-Tiongkok tersebut tetap dinilai bermakna penting, merupakan langkah yang perlu bagi masa depan hubungan dua negara. Pertama-tama, pada latar belakang konfrontasi yang sengit, diadakannya pertemuan tingkat tinggi tersebut  secara virtual menunjukkan bahwa kedua pihak masih memiliki kebutuhan berdialog dan bisa melakukan dialog sama satu lain. Kedua, melalui dialog, dua pihak lebih mengerti tentang pendirian, pandangan maupun permintaan dan kebutuhan satu sama lain agar melalui itu menyesuaikan tingkah lalu, cara berperilaku, menghindari langkah-langkah yang memburukkan situasi.

Dalam kenyataannya, meskipun mengeluarkan pernyataan yang keras, tetapi kalangan otoritas kedua negara tetap menegaskan keinginan berdialog dan bekerja sama. Menjelang pertemuan tingkat tinggi tersebut, Sekretaris Pers Gedung Putih, Jen Psaki mengumumkan bahwa kedua pemimpin “membahas langkah-langkah untuk menangani persaingan antara dua negara secara bertanggung-jawab maupun langkah kerja sama demi kepentingan bersama”. Pada pihak Tiongkok, dalam pesan kepada resepsi tahunan Komite Nasional urusan Hubungan AS-Tiongkok (NCUSCR) di New York baru-baru ini, Presiden Tiongkok, Xi Jinping terus menegaskan bersedia memperkuat kerja sama dengan AS di semua bidang untuk bersama-sama menghadapi masalah-masalah regional dan internasional yang besar maupun tantangan global, bersamaan itu mengontrol secara layak perselisihan, mendorong hubungan Tiongkok-AS kembali ke arah yang tepat. Satu misal yang lain ialah pada Konferensi COP-26 yang baru saja berakhir di Inggris, AS dan Tiongkok telah mencapai kesepakatan dan mengeluarkan pernyataan bersama tentang perubahan iklim.

Jelaslah, kebutuhan dan kemungkinan dialog dan kerja sama AS-Tiongkok adalah diperlukan. Masalah yang diperhatikan opini umum saat ini ialah apakah kedua pihak cukup memiliki kepercayaan untuk menghapus perselisihan agar melakukan kerja sama untuk bersama berkembang, demi kepentingan masing-masing pihak dan demi komunitas internasional. 

Komentar

Yang lain