Uni Eropa dan Tantangan Pembaruan Setelah 30 Tahun Traktat Maastricht

(VOVWORLD) - Tiga puluh tahun setelah Traktat Maastricht berlaku (1 November 1993), Komunitas Eropa menjadi Uni Eropa yang kuat dalam hal ekonomi, mempunyai dampak politik global. Blok ini sedang menghadapi tuntutan-tuntutan perombakan yang komprehensif dan tuntas untuk memenuhi tantangan-tantangan baru.

Traktat Maastricht ditandatangani pada tanggal 7 Februari 1992, tetapi resmi berlaku mulai 1 November 1993. Ini merupakan naskah bersejarah, menandai satu tonggak paling penting dari seluruh proses integrasi Eropa, dimulai oleh negara-negara utama di benua ini sejak awal tahun-tahun 50-an abad lalu. Dengan Traktat Maastricht, Uni Eropa lahir sebagai pengganti Komunitas Eropa. Ini merupakan realisasi ambisi banyak generasi pemimpin Eropa sebelumnya ialah membangun Eropa menjadi satu koalisi yang bersatu dalam hal ekonomi-politik, tidak hanya merupakan pembagian satu pasar bersama.

Uni Eropa dan Tantangan Pembaruan Setelah 30 Tahun Traktat Maastricht - ảnh 1Para Menteri Eropa menandatangani Traktat Maastricht tahun 1992 (Foto:Independent)

Tiga puluh tahun pembangunan yang melompat  

Tiga puluh tahun setelah didirikan, Uni Eropa berkembang melompat di semua aspek. Pada saat Traktat Maastricht dilaksanakan (November 1993), Uni Eropa beranggotakan 12 negara dengan total PDB sebesar 6,7 triliun USD. Sekarang, jumlah anggota dan kekuatan ekonomi Uni Eropa telah meningkat hampir 2,5 kali lipat, dengan 27 negara dan PDB blok ini pada akhir tahun lalu mencapai 16,6 triliun USD.

Proyek-proyek ambisius yang ditetapkan Uni Eropa sejak tiga dekade dulu hampir semuanya sudah dilaksanakan. Impian pembangunan mata uang bersama Eropa telah menjadi nyata pada tahun 2002 ketika mata uang Euro resmi diedarkan, secara bertahap mengganti mata uang domestik negara-negara dan sekarang menjadi mata uang bersama untuk 20 negara anggota Uni Eropa.

Satu rekam jejak besar lainnya Uni Eropa selama tiga dekade ini ialah realisasi konsep pikiran “warga negara Eropa”. Lebih dari 400 juta warga negara-negara Uni Eropa sekarang bebas bermobilitas tanpa hambatan dalam internal Uni Eropa berkat Perjanjian Schengen (yang berlaku mulai tahun 1995). Perjanjian ini turut menghapuskan rintangan perbatasan antar-negara Uni Eropa, memakai mata uang bersama ialah Euro, bebas berdomisili dan bekerja di suatu negara Uni Eropa lainnya karena reformasi-reformasi hukum bersama dari blok ini.

Di atas segalanya, keberhasilan terbesar yang dicapai Uni Eropa sejak pelaksanaan Traktat Maastricht mungkin ialah blok ini telah berhasil memperluas ruang geografi dan politiknya. 16 negara baru telah bergabung dalam Uni Eropa selama 3 dekade ini, dan meskipun peristiwa Brexit (tahun 2016) membuat blok ini berguncang-guncang selama beberapa tahun, tetapi penggabungan Uni Eropa tetap memiliki daya tarik yang sangat besar bagi puluhan negara lainnya saat ini di Eropa Timur atau Balkan Barat.

Membangun satu Uni Eropa baru yang efektif dan lebih praktis

Berkat keberhasilan-keberhasilan besar selama tiga dekade ini, Uni Eropa telah berhasil memperkokoh peranannya sebagai satu kutub berkuasa di dunia dan menjadi pola organisasi regional yang tipikal. Namun, krisis-krisis besar terjadi secara berturut-turut di Eropa selama satu dekade ini, dari krisis utang publik (2009-2012), krisis pengungsi (2015), Brexit (2016) hingga Pandemi Covid-19 (2020-2021) dan terkini ialah konflik Rusia-Ukraina yang telah memaksa para pemimpin Eropa dengan giat melakukan diskusi tentang reformasi yang komprehensif semua perjanjian utama Uni Eropa dengan demikian membangun satu Uni Eropa baru dengan institusi dan mekanisme aktivitas yang efektif dan lebih cepat. 

Uni Eropa dan Tantangan Pembaruan Setelah 30 Tahun Traktat Maastricht - ảnh 2Kanselir Jerman, Olaf Scholz (Foto: AFP /VNA)

Salah satu reformasi paling penting yang sedang ditargetkan ialah mekanisme pengeluaran keputusan Uni Eropa. Menurut pasal-pasal dalam Traktat Maastricht, dan kemudian disesuaikan dalam Traktat Lisbon (2007), Uni Eropa beraktivitas berdasarkan pada mekanisme konsensus dengan hampir semua tema besar seperti: pajak, anggaran keuangan, politik luar negeri dan sebagainya, sehingga semua negara anggotanya juga bisa memblokir semua keputusan blok ini apabila ada perselisihan. Hal ini sudah berkali-kali terjadi dengan Uni Eropa ketika beberapa negara memveto alokasi pengungsi pada tahun 2015 atau menghalangi Uni Eropa membantu Ukraina baru-baru ini. Menurut Kanselir Jerman, Olaf Scholz, mekanisme konsensus perlu diganti: 

“Semua reformasi  perlu harus ditetapkan, khususnya terhadap struktur pengeluaran keputusan blok. Saya sudah berkali-kali mengatakan dengan jelas bahwa mempertahankan mekanisme konsensus untuk memutuskan masalah-masalah seperti politik luar negeri atau kebijakan perpajakan seperti sebelumnya adalah tidak bisa diterima. Eropa perlu mampu mengeluarkan keputusan berdasarkan pada mekanisme mayoritas separo. Hanya demikian, kedaulatan dan kapasitas aksi dari Eropa baru terjamin”.

Selain mekanisme konsensus, reformasi struktur alokasi kekuasaan antar-negara anggota dalam Parlemen Eropa dan Komisi Eropa juga menjadi tantangan besar. Sekarang, menurut sejumlah Traktat Uni Eropa, jumlah kursi suatu negara Uni Eropa di Parlemen Eropa dialokasi berdasarkan pada populasi negara itu, sementara di Komisi Eropa, setiap negara akan memikul satu jabatan sebagai anggota tetap (total 27 anggota tetap). Namun, mekanisme ini sulit untuk dipertahankan ketika jumlah negara anggota Uni Eropa meningkat karena Parlemen Eropa tidak bisa melebihi 751 legislator, jumlah anggota maksimal menurut ketentuan dalam Traktat Lisbon.   

Menghadapi semua tantangan itu, Uni Eropa harus melakukan reformasi secara tuntas dan komprehensif, dan menurut banyak pakar, 30 tahun setelah Traktat Maastricht, sudah sampai saat Uni Eropa menyusun satu traktat baru, melalui itu melahirkan satu koalisi dengan mekanisme-mekanisme aktivitas yang praktis dan lebih efektif, memenuhi satu Eropa yang beragam dengan laju-laju perkembangan yang berbeda.

 

Komentar

Yang lain